Chapter 33: Heidelberg's Tale

1.5K 155 96
                                    

don't forget to ⭐ this chapter, okay??




Cinta itu membebaskan.

Meski terbelenggu oleh raga yang terikat ruang dan waktu,

cinta akan selalu memerdekakan.

Semerdeka rasa bahagia yang muncul saat melihatmu bahagia,

Sebahagia hati ini saat melihatmu merdeka.

-Sean Kenneth Kizehun-








Kami tiba di hotel menjelang tengah malam setelah menyambung dari Frankfurt dengan kendaraan sewaan ke Heidelberg. Jika dilihat dari luar, hotel tempat kami menginap cukup bagus secara arah, karena membelakangi sungai Neckar. Sehingga semua balkon kamarnya secara otomatis menghadap pemandangan sungai Neckar itu sendiri. Dari balkon ini gue bisa melihat banyak banget bangunan yang membentang sepanjang sungai Neckar, dan hampir kesemuanya adalah bangunan kuno. Seolah-olah gue terlempar ke zaman Jerman kuno. Auranya benar-benar membuai. Tenang, menyenangkan.

"Tidak capek?" tanya suami gue sambil meluk gue dari belakang. Kita berdua masih berada di balkon menjelang tengah malam begini.

Angin dingin menerpa wajah gue membuat gue mengeluarkan desisan mengigil.

"Tuh, kedinginan kan. Masuk yuk?" ajaknya.

Tapi boro-boro ngajak melangkah masuk, pelukannya ke gue makin erat. Ditenggelamkannya wajahnya di lekukan leher gue.

"Mau banget masuk apa mau banget disini? Kok makin rapet aja ini?" goda gue.

"Di luar dingin, jadi lebih enak buat pelukan, hehe."

Gue tersenyum. Gue masih antara percaya nggak percaya sih. Suami gue kan di luar kelihatannya diam, tegas, nggak pandang bulu, to the point banget. Tapi di depan gue, dia benar-benar kayak jadi sosok yang benar-benar berbeda. Gue jadi semakin yakin, memang kita nggak bisa memperlakukan orang tuh sesuai sama apa yang kita lihat doang. Karena kenyataannya, image yang sudah kita tangkap di luar bisa jadi berbeda dengan apa yang kita temukan dibaliknya.

Suami gue seperti itu, persis. Dingin di luar, hangat di dalam.

"Udah masuk yuk, Mas? Kita butuh istirahat. Tiga puluh jam perjalanan tuh bikin semua badan pegel-pegel."

"Sebentar, saya masih mau di sini."

"Hei, besok kan kita mau eksplorasi Altstadt, kota tuanya Heidelberg sama mau ke kastil Heidelberg? Kalau nggak istirahat kita mana bisa loh, keliling besoknya," jelas gue panjang lebar.

"Tapi saya juga nggak keberatan kalau harus ngerem di kamar seharian asal sama kamu."

"Bodo amat. Kalo ngamar doang mah ngapain kudu jauh-jauh ke Heidelberg Mas, kamu tuh ya."

"Hehe."

Gue menguap. Kantuk menyerang gue disaat seperti ini. Mau bilang nggak capek juga mana bisa. Kenyataannya, perjalanan tiga puluh jam benar-benar melelahkan. Saat transit di Dubai juga kita nggak sempat ngapa-ngapain karena masih teler. Gue mengulum senyum, masih terbayang saat di pesawat yang sebegitu lamanya, setiap tertidur dia pasti menggenggam tangan gue. Selalu.

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang