Chapter 19: Tragic

1.4K 134 41
                                    

Don't forget to vote ❤ and comment...








Subuh, setelah mandi dan menjalankan kewajiban gue terhadap Tuhan, gue langsung berbenah dan memberesi barang yang harus gue bawa ke sekolah. Saat gue memasang kaos kaki, gue sempatkan melakukan panggilan ke pak Suho.

"Assalamu'alaikum, Pak Suho. Saya hari ini boleh izin di dua jam pertama? Kebetulan sedang tidak ada jam di kelas, tapi kemarin bapak minta saya presentasi masalah statistik siswa yang melanggar aturan."

"Wa'alaikumusalaam Anna. Kalau boleh tahu dalam rangka apa izinnya?"

"Suami saya sedang sakit. Lengannya terkilir karena jatuh. Dia tidak bisa ke rumah sakit sendiri."

"Ah, dr. Dio sedang sakit? Baiklah Anna, kamu bawa saja suami kamu ke rumah sakit. Nanti kalau urusannya sudah selesai, kamu bisa langsung ke sekolah."

"Terima kasih, Pak Suho."

Gue tutup teleponnya dan segera berlari begitu mendengar suara mesin mobil dipanaskan.

"Si Kampret satu itu, begonya nggak kira-kira emang," gerutu gue sambil berlari menuju garasi.

Begitu sampai di garasi, gue melihat dia sudah rapi dengan sneli-nya. Gue langsung merangsek ke tempat kemudi dan mengambil paksa kunci mobilnya.

"Stop being selfish, Doc! You can't go to hospital alone without me! Tidak untuk praktek, but yes for treat your injury."

Gue menatapnya intens. Gue lagi pengen mengintimidasi dia.

"Tapi hari ini saya ada jadwal praktek. Saya tidak bisa meninggalkan. Kalau saya tinggal, pasiennya bisa membebani dokter lainnya yang juga sudah banyak pasien."

"Maksa? Mau jadi dokter apa dengan tangan begitu, hah?! Mau salah meriksa pasien? Mau salah diagnosa pasien terus kena kasus malpraktek, iya?!"

"Saya tidak sebodoh itu, Anna."

"Bodoh! Bapak jelas bodoh! Nggak inget gimana kemarin pak dokter kewalahan ngurusin piring sampe pecah? Mau pasien bapak juga ikutan luka atau nggak sembuh gara-gara bapak maksa ngelakuin sesuatu yang belum sanggup buat dilakukan?"

Dia menatap gue, dan hendak mengeluarkan pembelaan. Gue langsung potong dengan penjabaran gue lagi.

"Yang kemarin itu apakah masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa kekakuan bapak juga bisa membawa dampak negatif jika diterapkan dalam konteks yang tidak tepat?! Dan kekacauan yang sama akan terulang kalau bapak masih seperti itu. Tentu saja kali ini nggak sama piring, tapi sama pasien!"

Dia masih diam. Bola matanya bertatapan tajam, menghujam tatapan gue.

"Seriously! I can't ever imagine, a doctor who's always being so rational, today, he's so irrational. Pernah nggak, bapak pikirin. Kalau semisal pak Dokter sakitnya makin parah, yang ada malahan dokter nggak akan pernah bisa nolong orang lagi."

"Maaf, Anna."

Dia minta maaf? Gue nggak salah denger kan ya?!

"Nggak perlu minta maaf, Pak Dokter. Kita hanya harus menjalani semuanya sesuai kapasitas kita, Pak. Tuhan selalu memiliki jalannya, tidak baik jika kita memaksakan sesuatu yang bukan seharusnya,"

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang