Chapter 2: Late Dinner with Unwanted Person

2.2K 214 31
                                    

Don't forget to vote ❤️ and comment













Gue nyampe di rumah sakit pas banget jam sebelas setelah perjalanan selama seperempat jam menggunakan taxi online. Seperti yang gue takutkan, penglihatan spesial gue kembali menajam sesaat setelah berada di area rumah sakit. Gue mencoba cuek dan meneruskan langkah kaki menuju ruangan tempat Bang Chen nunggu. Apapun yang ngikutin gue, lebih enak lihat wajahnya Bang Chen.

Pada saat melewati poli anak, dari kejauhan gue melihat sosok papa sedang berjalan dengan beberapa koass. Mereka terlihat sibuk berdiskusi sekalipun dalam kondisi berjalan cepat seperti itu. itulah papa. Seorang Yunho Deru Arshaad tidak pernah meremehkan setiap pekerjaannya. Tegas, cepat dalam bertindak, dan keras kepala. Sosok papa ini berlainan banget sama mama gue, Yuna Hellena. Dia lembut, penyayang, dan lebih mau mendengarkan anak-anaknya. Saat di usir dari rumah, kata Bang Chen mama nangis sampai berhari-hari gara-gara papa nggak mengizinkan mama buat menemui gue.

Dari jauh, pandangan kami bersirobok. Papa tahu ada gue sini, tapi saat kami berpapasan, ia lebih memilih untuk meladeni koass yang bertanya dibandingkan dengan menyapa gue. Gue yang sudah sempat menunduk hormat ke papa akhirnya lanjut jalan, berharap segera menemukan Bang Chen agar suasana hati bisa membaik. Sekian lama berseteru dengan papa tanpa ada kata damai, tetap saja gue belum terbiasa saat bertemu dengannya.

Sosoknya masih menakutkan buat gue.

Pertemuan dengan papa membuat gue nggak fokus dan nge-blank, dan tanpa sadar gue sudah jatuh karena menabrak seseorang.

"Anna? Kamu nggak apa-apa?" tanya sebuah suara yang sangat familiar.

Gue menoleh ke arah arah orang yang sudah gue tabrak. Dan... ada kejutan berikutnya yang nggak gue duga.

"Pak Dokter?!" tanya gue setengah nggak percaya.

Dia mengangguk, "Iya, ini saya."

Gue melayangkan pandangan ke name tag yang ada di sneli-nya. Melihat nama Azkadio Rasyadirga terpampang disana, gue makin yakin kalo gue udah melakukan kesalahan karena menabrak cowok itu. Cowok yang bahkan nggak pernah gue harapkan buat bertemu lagi dalam kondisi apapun seumur hidup gue.

Gue lalu bangkit dan segera berjalan meninggalkan dia. Belum ada lima langkah, tangan gue udah ditahan. Dia menarik tangan gue dan berjalan ke arah salah satu ruang perawatan. Dari jauh gue lihat Bang Chen masih fokus menangani salah satu pasien kecelakaan yang cukup parah sehingga nggak sadar kalau gue udah di rumah sakit.

"Duduk dulu. Saya ambilkan peralatan."

Masih sama. Dia masih sama seperti Pak Dokter yang gue kenal. Dingin, tegas dan nada bicaranya masih terdengar mengintimidasi.

Setelah kembali dengan beberapa peralatan pertolongan pertama, ia lalu berjongkok di depan gue. Pelan, ia menyibakkan rok panjang yang gue pakai dan mulai membersihkan luka di lutut gue dengan disinfektan. Gue bahkan nggak tahu kalo lutut gue luka dan berdarah, tapi kenapa dia bisa tahu?

"Posisi jatuh kamu tidak mungkin membuat lutut kamu baik-baik saja."

Dia menjelaskan itu seolah dia tahu pertanyaan di kepala gue.

"Kamu masih sama. Masih saja ceroboh. Tidak berubah sama sekali."

Sekali lagi gue mendengar nada tegas yang mengintimidasi keluar dari mulutnya.

"Pak dokter juga masih sama. Mulutnya masih aja pedas kalo bicara. Terutama sama saya."

"Lain kali lebih hati-hati kalau jalan. Tuhan menciptakan mata bukan untuk menjadi pajangan semata," kata dia ke gue. Dia bilang kayak gitu tanpa mempedulikan omongan gue barusan.

Gue lalu menghembuskan napas jengah. Tuhan, dari sekian hari gue nggak pernah ke tempat ini, hari ini gue memutuskan untuk kesini dan nggak gue duga kalau akhirnya gue bertemu sama manusia ini lagi. Gue cuma berharap urusan gue sama dia cukup sampai sini.

"Sudah selesai."

Gue langsung berdiri dan mengambil kotak makan yang gue bawa. Gue baru saja mau membuka pintu, tapi tiba-tiba pintu sudah terbuka lebih dulu dan daun pintunya mampir ke jidat gue, sampai menimbulkan suara yang cukup keras.

Gue jatuh terduduk sambil memegangi jidat gue yang kerasa ngilu.

"Eh Dek? Udah di rumah sakit? Kok nggak nelpon sih?"

Bang Chen jongkok dan memeriksa kening gue yang udah berdenyut nyeri setengah mampus itu.

"Oh, ini mah udah biarin aja. Palingan nanti kamu punya tanduk kecil di jidat selama dua hari."

Ucapan bang Chen bikin gue langsung menggaplok pundaknya.

"Kok bisa disini sama Dio, Dek?" tanyanya heran.

"Anna tadi sempat jatuh, Chen. Lututnya luka," jelas dokter Dio.

Bang Chen mencubit hidung gue. "Masih aja cerobohnya. Kenapa kamu, Dek? Lihat sesuatu yang nyeremin tadi?" tanyanya sambil mengecek luka di lutut gue yang sudah tertutup perban dengan rapi.

"Iya. Habis lihat sosok seram," kata gue.

"Kali ini kamu ketemu sama yang model apa?" tanya bang Chen kepo.

"Serem. Paling serem diantara semuanya."

Bang Chen mendekat. "Apa?"

"CS pemilik rumah sakit ini." (CS: Cardiac Surgeon, ahli bedah jantung)

Kali ini bang Chen nyubit pipi gue. "Papa sendiri kok dibilang serem sih, Dek? Nggak baik ah."

"Emang serem," kata gue sambil merengut. "Nih, makanannya udah jadi. Jangan telat makan lagi, Bang. Anna pamit dulu."

Bang Chen menahan gue dengan tangannya. "Ikutan makan disini aja dek."

Gue membalasnya dengan gelengan, lalu melirik ke arah Dokter Dio. Ogah banget gue makan sama manusia es itu. lihat wajahnya aja gue udah nggak mau.

"Kita kan udah lama nggak ketemu dek. Abang juga kangen lah. Tega amat sama abang sendiri. Kayak bukan adek kandung aja."

Gue pengen nolak, tapi ekspresi melas yang dipasang di wajahnya bikin gue dilema. Sekali lagi gue nyerah sama bang Chen. Dalam hati gue juga sebenarnya udah kangen setengah mati sama abang kesayangan gue ini. Kesibukan kita masing-masing membuat gue jarang ketemu sama bang Chen. Kalau sama si bungsu sih hampir tiap hari ketemu karena dia bersekolah di tempat gue ngajar.

"Dio, lo belum makan kan? Lo sekalian aja makan disini bareng kita, ya?"

Dia mengangguk. Kami bertiga akhirnya mendekat ke arah meja dan memakan kimbab yang gue bawa. Sepanjang late dinner itu, dokter Dio nggak banyak ngobrol. Bang Chen lebih mendominasi pembicaraan, dan memang gue lagi kangen sama berisiknya dia. Jadi suara berisiknya dia malah kayak jadi lagu merdu di telinga gue. Thanks to bang Chen, karena berkat dia bete gue jadi berkurang dan gua jadi lupa kalo ada dokter Dio di tengah-tengah kita. 













TBC.....

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang