Chapter 45: the Painful Loss

1.1K 146 59
                                    

Jangan lupa meninggalkan jejak dengan menekan ⭐ ya guys...



Empat hari setelah kepergian Eki....




"Sayang, mau sampai kapan nasi gorengnya dicuekin terus? Udah dingin itu..." Kalem Dio.

Sejujurnya, saat ini laki-laki itu sedikit pusing dengan tingkah istrinya. Sejak kepergian Eki, hampir setiap pulang mengajar ia akan langsung ke rumah sakit, mengunjungi bangsal khusus, bermain dengan anak-anak dan berakhir dengan sepasang suami istri itu pulang bersama-sama ke rumah mereka.

Ia sering menjumpai Anna diam-diam menangis setelah bertemu dan berinteraksi dengan anak-anak penderita kanker yang malang itu. Dio tahu, Anna seperti itu karena istrinya itu menyayangi anak-anak tersebut. Tapi lihatlah istrinya sekarang. Hanya dalam waktu empat hari, badan istrinya terlihat menyusut. Ada cekungan di pipi dan sekitar bawah matanya, membuat Anna terlihat seperti zombie. Sungguh pun hampir tiap hari ia berusaha untuk membuatkan semua makanan kesukaan istrinya, itu akan berakhir sia-sia saja karena Anna bahkan tidak menyuapkannya sama sekali.

Dari yang Dio ketahui lewat sahabat-sahabat Anna, istrinya itu di sekolah hanya memakan beberapa kue basah yang dijual ibu kantin. Selain itu, ada kejadian aneh dimana Chanyeol yang saat itu sangat prihatin dengan Anna, akhirnya berinisiatif membuatkan masakan berupa omelet indomie yang rasanya keasinan, tapi Anna sanggup menghabiskannya tanpa terasa keasinan. Wendy, Joy, dan juga Baekhyun beranggapan mungkin efek kelaparan juga.

Dio tahu, kehilangan seseorang yang disayangi pasti menderita. Tapi ini tidak wajar. Bukan Dio tidak sedih dengan kematian pasien kecilnya itu. Namun dia memiliki prinsip. Saat seseorang pergi meninggalkan dunia ini, tentu saja ia meninggalkan banyak orang yang dicintai pula. Dan sudah pasti yang meninggalkan tidak mau menjadi beban bagi yang ditinggalkan, dan pasti akan sangat menyedihkan bagi yang meninggalkan jika tahu, bahwa orang-orang tersayangnya menjadi tersiksa karena kepergiannya.

Ya, dia sudah menerapkan prinsip itu sejak kepergian kedua orang tuanya yang tak diduga-duga itu.

"Tadi gimana di sekolah? Ada yang bandel, nggak?" kini ia mencoba mengajak istrinya berbicara dengan topik lain.

Ia tahu, topik tentang itu akan sangat membangkitkan antusiasme istrinya. Jika mereka berdua sedang di rumah dan Dio menanyakan tentang aktivitasnya dan apa yang terjadi di sekolah, Anna akan bercerita dengan antusias tentang apapun kejadian yang terjadi di sekolah.

"Ya gitu sih," singkat istrinya.

Jawabannya cuma itu doang? Astaga.... Mau kamu cuekin suamimu ini sampai kapan, Anna?

Dio mengusap wajahnya dan menghela napas frustrasi. Istrinya bahkan tidak melihatnya sama sekali saat berbicara.

"Sayang? Kalau kamu sakit, nanti saya gimana? Jangan seperti ini, dong?" bujuknya. Ia masih berusaha menjaga stabilitas emosinya agar tidak meledak.

"Sakit ya tinggal Mas obatin sih. Ngapain repot. Kalo Mas nggak mau ngobatin, masih ada Bang Chen, atau papa."

"Hush! Orang tuh nggak ada yang mau sakit. Kamu kok begitu sih. Jangan egois. Allah tuh ngasih raga ke kita buat kita jaga, bukan buat disia-siakan seperti yang kamu lakukan."

Anna menatap suaminya dengan tajam, lalu tak lama kemudian, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, siap meluncur kapan pun juga.

"Mas yang egois! Mas kan nggak tahu apa yang Anna rasain sekarang! Jangan asal nge-judge dong!"

My Super Perfectionist Husband  [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang