16 : The Couch

1K 45 5
                                    

"... Begini saja sebentar, please."

Duh, jadi nggak ingin marah. Kasihan juga si buaya. Gue mengulurkan tangan dan mengusap-usap kepalanya, dan ia tertawa pelan. "Jangan salah paham ya, gue begini bukan karena tergerak, gue cuma kasihan dengan lo," kata gue.

"Hmph," ia tersenyum, "Iya, gue tahu kok."

"Hah sumpah, lo tahu? Tumben banget, biasanya mah bilang 'ya nanti juga lo tergerak, kita lihat saja'," kata gue yang sedikit kaget dengan jawabannya yang sepertinya pasrah banget, nggak kayak biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hah sumpah, lo tahu? Tumben banget, biasanya mah bilang 'ya nanti juga lo tergerak, kita lihat saja'," kata gue yang sedikit kaget dengan jawabannya yang sepertinya pasrah banget, nggak kayak biasanya.

Ia nggak menjawab gue, hanya tertawa. Duh, perasaan gue kok jadi nggak enak, ya.

"Anyway, adik lo cakep banget ya," kata gue mengalihkan topik.

"Biasa saja ah, cakepan juga gue," candanya. Gue menimpuk mukanya dengan bantal kecil di sebelah gue. Ia tertawa dan memegang tangan gue untuk menyingkirkan bantal itu dari mukanya. "Badannya juga bagus banget seperti model," kata gue. "Yah, memang model sih, dia katanya kerja sambilan jadi model di Amerika."

"Wah, memangnya dia umur berapa sih?" tanya gue. "Enam belas tahun," jawabnya.

Apa, seumur dengan gue?

"Hah, memangnya umur lo berapa deh?" tanya gue.

Ia menatap gue sebentar, kemudian kembali memejamkan matanya, "Tujuh belas. Delapan bulan yang lalu," katanya. "Masa? Desember tahun kemarin? Lo lebih tua dari gue, dong."

"Lo enam belas, ya?" tanyanya. "Iya, Februari yang lalu."

"Haha, bayi," ejeknya. "Heh, lo itu yang ketuaan tahu, dasar aki-aki," ejek gue balik. "Lo pernah nggak naik kelas, ya?" tanya gue. "Enak saja, jenius kayak gue begini mana mungkin nggak naik kelas," katanya, "gue mulai sekolah agak lebih telat dari yang lain."

"Oh begitu," kata gue, "berarti benar dong ya, waktu kita pertama kali bertemu, gue panggil lo 'kak'."

"Kalau begitu panggil gue 'kak' lagi, dong," godanya.

"Sekali terjadi, nggak akan terjadi lagi," kata gue. Ia tertawa, "Ayolah, coba panggil lagi. 'Kak Zac~' gitu."

"Idih amit-amit, geli banget," gue memukul-mukulnya dengan bantal, "Aduh aduh, iya iya, maaf," ia tertawa.

"Katanya, lo tinggal sendiri di rumah ini karena orang tua lo jarang pulang? Itu ada adik lo," tanya gue.

"Adik gue tinggal dengan Dad di Amerika, dia sekolah di Amerika juga, biasanya mereka pulang dua tahun sekali ke Indonesia," katanya. "Oh, jadi dia dari lahir tinggal di Amerika? Tapi dia bisa Bahasa Indonesia."

"Nggak, awalnya gue dan Hailey, semuanya tinggal di sini, tapi kemudian Dad perlu pindah lagi ke pusat perusahaannya di Amerika, dan Hailey itu semacam anak kesayangannya gitu, sementara gue itu punya Mama, jadi Dad tinggal di Amerika-nya dengan Hailey doang," jelasnya.

can a player fall in love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang