52 : One Last Kiss

712 36 10
                                    

"Zac! Are you serious?"

"Yes, baby. Sekarang tidur, ini udah subuh." Katanya menyandarkan tubuhnya pada papan kasur dengan bantal sambil menyalakan HP-nya.

"Demi kerang. Pendirian lo kuat juga, ya."

"Pardon me?" dia menatap gue dengan tatapan pura-pura polos. Gue menghela nafas singkat. "You're a joke. Lo padahal baru--- baru, ehm."

"Baru?"

"For goodness sake. Lo baru nyium gue satu kali. Zac Anderson." Kata gue malu.

Dia nggak merubah raut muka datarnya. "Bukannya janji gue memang satu kali?"

"Really? Secara harfiah?"

Sebuah cengiran dan gerakan kecil ujung alisnya ahkirnya muncul seperti sedang menahan tawa. Dia menjilat singkat bibir atasnya, "Apa lo maunya secara... metafora?"

Gue mendesah kesal. "Siapa bilang. Nggak, tuh."

Dia hanya menyengir menatap gue yang sedang membalikkan badan membelakangi dia.

Walaupun nggak kelihatan, tapi gue bisa merasakan dia menatap tubuh gue yang hanya dibalut pakaian tipis nightwear dari hotel. Dia menarik selimut dan menyelimuti tubuh gue sambil mencium kepala gue. "Good night."

Gue membuang selimut itu jauh-jauh dengan kaki gue. "Panas," eluh gue.

Beberapa detik kemudian dia kembali mengambil selimut dan menyelimuti gue. "Baju lo tembus pandang. Val." Katanya straight to the point.

"Bagus dong. Metafora satu kali," kata gue penuh sarkasme. Lagian. Siapa suruh seenaknya langsung berhenti setelah bahkan sudah menindih tubuh gue dan membawa hawa panas ke udara yang penuh dengan gairah, tapi dalam sekejap berhenti setelah hanya satu kali ciuman. Kan kejam. "Segini mah bukan apa-apa. Pendirian lo kan kuat."

"Val," tegurnya pada gue dengan raut muka memohon. "Hmm," sahut gue cuek.

"Jangan gitu. Pakai selimutnya, ya? Please."

"Panas dibilangin."

"Panas apa, sih? Ini udah beku. Lihat tuh. 15 derajat," katanya menunjukkan gue remot AC di tangannya.

"Remotnya rusak kali."

"Nggak mungkin. Gue udah menggigil ini. Panas dari mana-- lo tinggal di mana sih, Bali atau kutub?"

Gue mendengus kesal. "Badan gue panas. Walaupun dingin, tapi gue panas," kata gue merujuk pada hal yang dilakukannya tadi. Satu kali. Dan masih membekas sampai detik ini. "Hawanya panas."

Dia terdiam paham.

Tiba-tiba terasa angin berhembus ke seluruh badan gue. Dia mengipas-ngipas gue dengan kertas. Gue menoleh bingung, "Ngapain sih lo?"

"Biar adem. Enak, kan?" katanya menyengir.

Gue menyilangkan kedua tangan menutupi bulu kuduk di lengan gue yang sudah sampai berdiri tegak lurus dengan kulit gue. "Dingin!"

"Lah. Katanya tadi panas?"

"Sekarang dingin. Jangan kipas-kipas," kata gue menyingkirkan kertas dari tangannya.

Dia menatap gue yang sekarang sedang berada tepat di depannya dengan uluman senyum. Dia lalu mengulurkan tangannya menggenggam sisi ke belakang kepala gue dan mengecup kening gue. "Sekarang udah nggak panas, kan?" katanya tergelak, "maaf metafora satu kalinya."

Gue menekukkan bibir menatapnya cemberut. "Apa gue udah nggak menarik lagi buat lo?"

"...Hm?" dia mengernyitkan sedikit alisnya dan mengangkat sudut bibirnya menahan tawa. Gue memindahkan tatapan dari matanya, malu dengan ucapan gue barusan.

can a player fall in love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang