CHAPTER 6 - JAWARA

26.5K 2.3K 161
                                    

Desa Lindung, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Pesantren Nurul Huda sepi sekali. Kesunyian yang tidak wajar mengingat tadi malam baru saja terjadi peristiwa besar. Masih terlihat garis polisi melintang di tempat kejadian perkara, tapi tidak satupun terlihat ada santri yang lalu lalang. Seluruh kelas kosong. Pintu asrama tertutup rapat, bahkan mereka menempel kaca jendela dengan koran bekas. Hal itu membuat warga yang datang untuk menyaksikan kondisi pesantren menjadi kecewa. Tidak ada yang bisa mereka lihat, tidak ada yang bisa mereka tanyakan. Warga menumpuk di pinggir jalan, layaknya barisan penonton sepak bola. 

Di halaman pesantren; tepatnya di depan masjid, ada dua mobil yang sedang parkir. Ada juga sepeda motor dan becak, dan kendaraan hemat bahan bakar yang warga sebut dokar. Begitu cara Banyusirih menyebut sebuah delman. Tidak setiap hari halaman parkir Nurul Huda penuh dengan kendaraan, tapi pagi itu, sesuai dengan undangan Kiai Mahlawi, beberapa tokoh agama di seluruh Banyusirih datang untuk mendiskusikan ancaman yang sedang mereka hadapi.

Pertemuan itu bersifat sangat tertutup. Karenanya santri dilarang keluar asrama, guna menghindari pertanyaan wartawan dan mencegah jawaban bodoh dari para santri yang ketakutan. Sudah saatnya surat kabar memuat apa yang terjadi, bukan apa yang ingin mereka tulis.

Di kediaman Kiai Mahlawi, enam orang tamu yang terdiri dari kiai, guru agama, dan beberapa jawara desa sedang duduk di ruang tamu. Tidak seperti ruang tamu pada umumnya, ruang tamu yang ditempati sangat luas, cukup untuk garasi empat mobil. Kiai Mahlawi membuatnya lesehan dengan permadani khas timur tengah, karena ia sering kedatangan tamu dalam jumlah yang besar.

Memasuki pukul 10 pagi, obrolan basa-basi para undangan sudah berhenti. Kehadiran sang tuan rumah mengubah ruang tamu yang hangat menjadi dingin dan serius. Pertemuan itu dibuka dengan doa untuk Ustad Zamroni, lalu berlanjut pada masalah inti yakni; memperkuat pertahanan Tapal Kuda.

"Saya sangat menyesal. Di tengah ramainya isu pembunuhan di Kabupaten Gandrung, saya justru pergi jauh meninggalkan murid-murid di pesantren. Sampai sekarang pun saya merasa bahwa kematian Zamroni adalah salah saya sendiri." Tutur Kiai Mahlawi penuh penyesalan.

"Saya turut berbela sungkawa. Duka ini bukan hanya milik Nurul Huda, tapi milik kita semua. Hanya saja Pak Kiai... saya masih merasa bahwa target yang sesungguhnya adalah Jenengan. Ustad Zamroni tidak memiliki apapun yang layak dijadikan alasan untuk dibunuh. Maksud saya, membunuh almarhum tidak memberikan keuntungan apapun bagi pembunuhnya." Ki Hannan dari dusun Kalakan menanggapi.

Ki Hannan adalah seorang Hafidz, putra dari pendiri pondok pesantren Darul Ulum Kalakan. Sekaligus kepala sekolah Tahfidzul Quran; madrasah yang mencetak para Hafidz yang sangat disegani di Kabupaten.

"Tidak juga. Saya kenal dengan Ustad Zamroni. Kalau sampean-sampean tanyakan pada masyarakat Banyusirih, mereka lebih kenal Ustad Zamroni daripada Kiai Mahlawi sendiri. Mohon maaf, tapi jenengan terlalu sibuk dengan politik hingga lupa mengayomi masyarakat," Kali ini giliran Ustad Nasim yang berpendapat.

Berbeda dengan Ki Hanan, Ustad Nasim hanyalah seorang guru ngaji dari Desa Tambangan. Tidak ada pondok pesantren di desa pengrajin batu bata itu. Banyak pemuda dan pemudi Tambangan yang menuntut ilmu di Sokogede, sebagian lagi memilih di Nurul Huda, hingga yang tersisa bagi Ustad Nasim hanyalah preman-preman desa yang mencoba insyaf. Setiap hari; sehabis maghrib, mantan perampok, pencuri, dan narapidana datang ke mushallah Ustad Nasim untuk mengaji. Hal itu yang membut sang Ustad disegani oleh warga Tambangan.

"Tidak ada salahnya berpolitik, Ustad Nasim yang terhormat." Sahut Kiai Ilyas. Salah satu pengasuh pondok pesantren Sokogede. "Ada banyak kursi kosong di istana, jangan sampai ditempati orang yang namanya saja kita baru dengar, sementara kita masih berlindung di balik dinding pesantren—merasa aman—bukankah itu yang sedang diperjuangkan Ulama-Ulama di ibu kota?"

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang