Suasana kantor desa malam ini tak seperti yang Pak Saleh bayangkan. Tidak ada penjagaan ketat, bahkan bisa dibilang tidak ada orang. Halamannya sepi. Di pendopo ada tiga pasang sandal dan sepasang sepatu. Pak Saleh berasumsi masih ada orang di dalam. Kebakaran yang terjadi di desa memang membuat para aparat gaduh, tapi tidak mungkin kalau sampai mengosongkan kantor desa.
Pak Saleh tidak pakai sandal. Kakinya mungkin masih membawa kuman dan kotoran dari tempat pembuangan sampah. Kendati mencoba tegap, Pak Saleh tak bisa menyembunyikan nyeri di kakinya. Ia berjalan dengan bantuan tongkat andalannya. Setiap langkahnya membekaskan jejak hitam di lantai putih pendopo, dan terus mengekor sampai ke pintu kantor desa. Di daun pintu tertulis, 'Habis buka, harap ditutup lagi'. Pak Saleh tidak bisa membaca lebih dari dua kata. Ia tendang pintu itu sampai gagangnya lemas, lalu pintu itu terbuka dengan pasrah.
Di balik pintu itu adalah ruangan yang cukup luas dengan meja berjajar di setiap sisi, menghadap ke tengah ruangan di mana Pak Saleh sedang berdiri, bertumpu pada tongkatnya.
Sambutan yang Pak Saleh terima benar-benar tidak seperti yang diharap. Dengan tumbangnya Rodin dan kawan-kawan, harusnya otak dari Eksekusi Tapal Kuda sudah memebentengi diri dengan sedikitnya dua puluh orang. Ini Sumbergede. Mereka tahu betul bagaimana Pak Saleh. Namun, yang menunggu kakek gondrong putih itu hanyalah tiga orang. Mereka sedang duduk di kursi kerja perangkat desa. Mereka sama tua, sama lelah, sama-sama dekat dengan tanah. Mereka adalah Gusafar, Mbah Sopet dan Ki Jalu. Dari gelagat ketiganya, Pak Saleh bisa menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kalau tahu begini akhirnya, harusnya aku minum jamu dua gelas sebelum perang. Tenagaku sudah habis gara-gara cecunguk-cecunguk barusan," gerutu Mbah Sopet, lalu meneguk sebotol air kemasan.
"Umar dan Maksum pasti marah gara-gara senjatanya aku pakai buat melawan teman sendiri. Mar, Sum, maafkan aku. Korek api tidak akan membakar siluman yang satu ini," sambung Ki Jalu. Di mejanya sudah ada sepasang pisau kembar, pusaka pemberian Kiai Sepuh untuk Almarhum Umar dan Maksum.
"Tidak sekalian saja Kakeh bawa pecut kuda lumpingnya si Sunan!" Celetuk Mbah Sopet.
"Ah, perang terbesar selalu terjadi di belakang garis pertahanan. Garis kita sendiri. Musuh terbesar selalu muncul di tempat yang paling dekat. Dekat dengan diri kita sendiri. Rahwan pasti bahagia kalau orang ini kita bikin babak belur."
Gusafar mengenakan cakar milik Rahwan. Dia merasa sangat percaya diri, seolah bisa mengalahkan Pak Saleh sendiri.
APA-APAAN INI?
Tanpa pengeras suara, Pak Saleh seolah berhasil membuat gema yang menggetarkan ruangan itu dengan geramannya. Ketiga temannya seolah-olah menjadi peserta rapat bulanan, dan Pak Saleh adalah pengawas daerah yang sedang mengaudit keuangan desa.
Gusafar, Ki Jalu dan Mbah Sopet berdiri. Mereka sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Sementara lawan mereka, Muhammad Salehudin, justru membuang tongkatnya jauh-jauh. Kedua tangannya sudah cukup jadi senjata.
"Terakhir kali kalian melawanku, kalian berdelapan masuk rumah sakit," Pak Saleh mengingatkan. Mulutnya menyeringai.
"Ya, karena waktu itu tidak ada saya," sahut Ki Jalu.
"Ya, karena waktu itu kakeh lari," tanggap Mbah Sopet.
"Ironis. Ledekan itu keluar dari mulut orang yang takut jarum suntik," balas Gusafar.
"Aku hanya memperingatkan, karena kali ini, kalian tidak akan mampir dulu ke rumah sakit. Kalian akan langsung masuk ke kuburan."
"Bagus," sahut Gusafar. Ia memperbaiki ikat kepalanya, lalu menunduk seperti monyet dengan cakar menggores lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HororBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...