CHAPTER 54 - GURU DAN MURID

11.9K 1.4K 129
                                    

Pesantren Sokogede, Kecamatan Banyusirih

Tempat pembuangan sampah pesantren. Luasnya sama seperti asrama Sunan Ampel yang terdiri dari 15 kamar, dan merupakan gedung asrama tertua di Sokogede. Sampah yang menumpuk terdiri dari kantong dan botol plastik, pecahan piring dan botol kecap, pakaian dan sarung bekas, sandal karet dan sandal kayu, dan masih banyak lagi daftar sampah yang menggunung, membentuk bukit-bukit kecil, naik dan turun. Biasanya, traktor sampah terakhir beroperasi pukul lima sore. Traktor tersebut menarik sedikitnya lima gerobak sampah beroda, yang berkeliling pesantren mengangkut sampah dari pagi hingga sore.

Tanpa deskripsi lengkap pun, tempat pembuangan sampah adalah jalan keluar yang buruk untuk rencana yang gagal. Rodin mengerti itu. Dia hanya tidak punya pilihan lain. Eksekusi Tapal Kuda mestinya berjalan senyap. Namun, campur tangan Karmapala tentu akan sangat menyulitkan. Bisa bahaya jika santri yang berjumlah ribuan itu mengepung Rodin dan kawan-kawan. Sebuas apapun, Rodin akan tetap mati bila ditindih seribu orang bersarung.

Rodin dan enam orang rekannya memanjat pagar dinding pembatas area pesantren dan tempat sampah dengan terampil. Mereka berhak mendapatkan medali emas untuk olimpiade yang belum pernah ada tersebut.

"Harun! Lelet sekali kamu!" Tegur si topeng hitam, sebelum ia melompati perbatasan.

"Percuma pakai penutup mulut kalau masih cerewet, Cong!" balas Harun pada si topeng hitam yang ia pangil Broncong. Tidak seorang pun dari kawanan itu yang tahu nama aslinya.

Harun merasa kesulitan oleh penyamarannya. Sarung benar-benar pakaian yang menyusahkan untuk pekerjaan yang mirip maling. Pantas saja maling sering pakai sarung buat jadi topeng, keluh Harun dalam hati. Ia melompat, menjejaki dataran lembut yang terdiri dari sampah basah.

"Seperti dugaanku. Di sini bau sekali," protes Harun.

Tidak seorangpun yang menanggapi celetukan itu. Rodin dan rekan-rekannya yang lain justru berdiri siaga pada pijakannya masing-masing. Semua tampak konsentrasi menatap ke depan, ke bawah satu-satunya lampu tiang yang jadi penerangan. Di sana, seseorang sedang berdiri. Dilihat dari gelagatnya yang tak gentar dan tak gusar, orang itu seolah memang menunggu Harun dan kawan-kawan. Lalu, serban merah yang mengalungi leher itu, membuat Harun segera bersiaga, menyusul teman-temannya.

"Din, katamu si anak nakal sudah kau kurung di Gandrung. Lah, itu apa?" Broncong menunjuk kakek berkuncir yang sedang mendekati mereka.

"Benar. Tapi aku tidak pernah bilang kalau dia tidak bisa lolos." Rodin menoleh pada teman-temannya. "Kalian pergilah. Kabari juga teman-teman kita yang lain. Eksekusi Tapal Kuda malam ini gagal."

"Kau mau melawan dia seorang diri?" protes Harun.

"Ya, dan akan sangat merepotkan kalau ada kalian. Percayalah, satu orang kakek itu, lebih merepotkan dari 100 orang santri. Cepat!"

Ternyata, tekad rekan-rekan Rodin memanglah hanya setengah hati. Mereka langsung lari tanpa basa-basi. Mereka bersyukur dan sedikit sedih karena sepertinya Salehudin tidak menaruh minat pada orang yang mungkin dianggap lemah. Kakek itu tetap mendekat dengan santai, seolah benar-benar yakin, Rodin dan Broncong tidak akan kabur.

"Broncong? Ngapain kamu di sini?"

"Diamlah. Kau sudah gagal menjalankan bagianmu. Tidak pantas lagi kau memerintahku. Lagipula, aku punya dendam pribadi pada kakek ini."

Broncong tampak antusias, meskipun ada keringat dingin yang mengalir di keningnya. Entah karena lelah berlari, atau takut pada apa yang akan dia hadapi.

Rodin tak banyak berkomentar. Ia menuruni bukit sampah, hingga posisinya sama rata dengan kakek di hadapannya. Rodin bertepuk tangan pelan.

"Kau benar-benar punya sembilan nyawa, ya."

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang