Gusafar benci menyisakan makanan. Ia rajin menasihati monyet-monyetnya agar selalu menghabiskan jatah makan. Namun, sepuluh orang yang berhasil kabur dari hutan itu adalah sebuah kegagalan. Meski demikian, orang-orang itu juga tidak bisa dibilang beruntung. Mungkin luka cakar dan gigitan monyet tak seberapa dibanding luka sobek karena pedang, atau tulang hancur karena besi, tapi siapa yang bisa menjamin monyet-monyet tadi tidak membawa penyakit. Bisa jadi mereka sampai di rumah dengan selamat, tapi meninggal lima hari kemudian karena kejang-kejang.
Mereka tidak kabur sembarangan. Tujuan mereka telah tercapai, yakni keluar dari hutan. Benar prediksi mereka. Monyet-monyet itu berhenti mengejar tepat setelah barisan pohon terakhir hutan Sumbergede yang berbatasan dengan jalan besar. Hari belum terlalu larut. Masih lewat beberapa truk besar mengangkut hasil bumi dan bahan bangunan. Sepuluh orang itu terus menyusuri pinggiran jalan, mirip peserta lari maraton yang tertinggal rombongan. Bedanya, mereka berlari sambil menahan perih. Ada tanda cinta dari monyet Sumbergede yang membekaskan warna ungu dan mulai kehitaman.
Di pinggir jalan, di bawah pohon asam yang batangnya dicat putih dan hitam, sebuah truk sedang menunggu tumpangan. Pengemudinya sedang siaga sembari merokok. Melihat enam orang berlari kelimpungan menuju ke arahnya, sopir truk menarik sebilah parang dari samping kursi kemudi. Sekadar berjaga kalau yang datang bukanlah orang yang diharapkan.
"Long, misi gagal!" teriak Harun sambil menggedor pintu mobil.
"Gagal? Terus, Rodin?" tanya si sopir, gelagapan.
"Nanti saja bicaranya. Kita harus pergi sekarang."
Harun naik di depan, di samping sopir, sembilan temannya naik di belakang, pada bak truk yang sedang mengangkut panen kacang. Bak itu tertutup terpal. Sengaja disiapkan untuk mengantar dan menjemput para anggota.
"Berangkat!" Harun memberi perintah.
Mesin truk sudah menyala. Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara letupan keras, yang berakhir dengan desis angin.
"Kenapa, Long?"
"Bannya, Bos," jawab sopir, panik.
Suara yang sama juga terdengar di belakang sebanyak tiga kali. Truk yang semula gagah dan siap berangkat, kini lumpuh dan jadi tak berguna.
"Anjing, cepat ke luar!" Seru Harun.
Harun dan sopir ke luar, tapi bukan untuk memeriksa. Mereka sadar ban kempes itu bukan sebuah kebetulan. Namun, begitu Harun menjejakkan kakinya di tanah, sebuah anak panah menancap di betisnya yang berbulu lebat.
"Kenapa, Bos?" tanya si sopir
"Kakiku," rintih Harun
Melihat kondisi harun, 9 orang yang baru turun dari truk, langsung kocar-kacir mencari persembunyian. Persetan dengan Harun.
Sementara itu, di balik bayang-bayang pepohonan, seseorang sudah bersiap membidik 10 buruannya.
Katanya yang akan kabur tidak akan lebih dari empat, tapi ini sepuluh orang. Katanya Karmapala Sakti, tapi kerjanya kok tidak benar.
Walaupun dalam hati menggerutu, tapi setiap anak panah yang dilepaskan kakek itu menancap tepat sesuai sasaran. Satu persatu kaki-kaki nakal berhasil dilumpuhkan. Tinggal tiga lagi yang sudah terlanjur jauh dari jangkauan panah, atau kakek itu saja yang kurang gesit. Namun, tiga orang sisanya pun tak berhasil lari terlalu jauh. Seorang pemain pendukung menghabisinya dari tempat persembunyian berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...