CHAPTER 58 - WASIAT KAKEK

12.3K 1.5K 695
                                    

Rumah sakit Asembalur

Sudah dua belas jam sejak jarum infus terpasang di pergelangan tangan Pak Saleh. Dokter menusuknya dengan mudah, semudah menusuk roti. Urat tangan Pak Saleh juga jelas sekali tergambar. Sudah dua belas jam Pak Saleh tak sadarkan diri. Fatah mendampinginya dari malam sampai pagi. Fatah tidak mau tidur. Ada trauma yang besar akan sebuah rasa kehilangan. Fatah mengerti, di usia Pak Saleh yang sudah sangat renta, Kakeknya itu bisa pergi kapan saja. Bisa hari ini, bisa besok pagi, bisa saja ketika Fatah tidur, Pak Saleh diam-diam kabur ke akhirat, seperti yang selalu Pak Saleh jadikan candaan saat bertengkar dengan almarhum Haji Karim.

"Sudah sadar?" tanya Gusafar.

"Belum, Kang."

Di belakang Gusafar ada seorang perawat yang tampak kelelahan karena berkali-kali harus menjemput Gusafar di ruangan Pak Saleh. Gusafar dengan tongkat berjalan, dan segala perban di tubuhnya, masih sempat-sempatnya menjenguk Pak Saleh yang kamarnya berada di sebelah.

"Bapak masih belum boleh ke luar dulu. Dan jangan pernah lagi mencabut selang infus! Kalau begini terus, kami tidak mau tanggung jawab," keluh si perawat.

Gusafar digiring ke luar. Fatah menyaksikannya sambil geleng kepala. Begitu Gusafar ke luar, dua orang kakek datang. Mereka ada Mbah Sopet dan Ki Jalu.

"Sudah sad—"

"Belum," jawab Fatah, ketus.

Kejadian tadi berulang. Dua orang perawat menggiring Ki Jalu dan Mbah Sopet ke luar sambil marah-marah.

"Kek, mereka sudah lima kali ke sini. Kalau bisa, saat mereka datang untuk keenam kalinya, Kakek harus sudah sadar," bisik Fatah.

Nail dan Imdad datang bersama Nurina. Kedua putra Fatah masih mengenakan seragam sekolah. Mereka menicum tangan Fatah, lalu duduk di samping kakek buyutnya.

"Iyot masih bobok, ya?" tanya Imdad.

"Imdad, tangannya Mbah jangan digoyang-goyang," tegur Nurina.

"Baru jam 8 kok sudah pulang sekolah, Mi?" tanya Fatah.

"Madrasah libur sampai situasi membaik. Lagian anak abah yang kecil itu dari tadi nanyain iyot terus."

Fatah tersenyum.

"Biarkan saja. Yang sudah berumur saja sudah lima kali nanyain kakek, apalagi yang seumuran Imdad."

Nurina meletakkan tas Nail dan Imdad di meja seraya berpikir siapa orang yang Fatah maksud.

"Ibu mana?" tanya Nurina.

"Mungkin lagi di kamar sebelah, bareng keluarga Kang Farouk."

"Ngomong-ngomong, di luar banyak orang, lho. Tidak mau abah tegur?"

"Biarkan saja. Selagi tidak mengganggu istirahat kakek."

Keramaian di luar boleh dibilang campur aduk. Tidak berisik, memang, tapi kelihatan aneh saja kalau ada Polisi, Tentara, Kiai, dan aparat desa berkumpul di teras Ruang Melati tempat Pak Saleh, Gusafar, Ki Jalu, dan Mbah Sopet dirawat.

Kakek-kakek itu menolak untuk dimintai keterangan dengan alasan masih butuh istirahat. Namun, di saat yang sama, mereka bolak-balik ke ruangan Pak Saleh seperti sudah sembuh. Benar jika ada yang bilang, orang tua tidak pernah salah. Sakit dan sembuh saja bisa mereka atur sendiri.

Mbah Sopet misalnya. Satu-satunya orang yang mau ia temui hanyalah Kiai Mahlawi. Itu pun mereka harus bicara sembunyi-sembunyi.

"Saya tidak mau menganggu jam istirahat sampean, jadi, bisakah saya dapat versi singkatnya saja?" tanya Kiai.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang