CHAPTER 39 - MULAI BERBURU

24.3K 2K 611
                                    

PUSKESMAS BANYUSIRIH

Adam dan Ghazali hendak menggotong Aluf dengan tergopoh, namun segera mengurungkan niat, karena Aluf keburu menendang selangkangan mereka.

"Saya bisa jalan sendiri!" Kukuh Aluf.

Pak Busrowi sudah datang bersama beberapa  perawat, mendorong tiga brankar ke tempat parkir.

"Cepat Mas dokter, gadis dan orang ini butuh pertolongan segera!" Kata Pak Saleh, gawat.

SAMPEAN JUGA!

Kor dari Pak Busrowi, Adam dan Ghazali itu berhasil menghentikan Pak Saleh yang mengingsut dari orang-orang berpakaian putih tersebut.

"Hahaha, masa?" Kata Pak Saleh, garuk kepala, dengan mulut berdarah.

Akhirnya, empat orang perawat mendorong Aluf dan pria korban Pak Saleh, sedangkan Pak Saleh didorong paksa oleh Pak Busrowi, Adam dan Ghazali. Setelah melewati lobi, mereka berbelok ke kanan. 

"Hei, kenapa tidak ke kiri saja?"

"Ruang Gawat Darurat-nya ada di sebelah sana, kak Tuan."

"Tapi, nanti saya ketahuan sama Karim. Kan malu!"

Tepat setelah itu, Pak Saleh melihat kamar Haji Karim. Ramai sekali. Terdengar pula suara isak tangis dari dalam, dan dipertegas dengan keluarnya Nurina yang sedang banjir air mata.

"Stop!"

"Kenapa?

SAYA BILANG, BERHENTI!

Brankar Pak Saleh jalan sendiri, karena yang mendorong sedang berdiri kaku setengah mati, sementara yang didorong sudah melompat pergi.

Pak Saleh menghampiri Nurina. Tetiba, dia tidak berani bertanya. Entahlah. Tangisan seperti itu hanya punya satu arti, dan Pak Saleh sedang tidak ingin menerjemahkan.

"Kakek?"

Nurina menghambur ke pelukan Pak Saleh. Tak sadar sang kakek sedang terluka. Tapi, tak apa. Pak Saleh sedang mati rasa. Pak Saleh tidak takut mati, memang. Tapi, air mata Nurina sedang hangat-hangatnya membasahi perut Pak saleh, dan anehnya Pak Saleh merasa sangat takut.

Pak Saleh menerobos keramaian di pintu kamar. Mendapati Bu Mai sedang histeris di samping H. Karim. Wanita itu lemas. Sesaat, tidak menyadari kehadiran Pak Saleh, sampai Bapak Mertuanya itu memegangi pundaknya.

"Abah?"

Lalu, Bu Mai menyeka air mata dan menelan getirnya barusan. Kemudian, semuanya tenang. Seperti menunggu reaksi Pak Saleh, saat melihat anaknya tidur, tak bernapas. Tidak pula Pak Saleh lihat tanda-tanda kehidupan.

Siapa yang hendak Pak Saleh bohongi? Tatapan basah itu terlalu jujur. Pak Saleh tahu benar tentang kematian, dan tidak mungkin bisa menolaknya. Yang sedang dia perhatikan dengan senyum terpaksa itu, adalah jasad anaknya. Anak semata wayangnya. Ayah dari cucunya, dan Kakek dari kedua cicitnya.

"Sudah berapa lama dia tidur?"

Pertanyaan semacam itu, membuat Nurina dan Bu Mai semakin sakit. Mereka berpelukan. Tak ada yang sanggup menjawab.

"Cepat bangunkan Karim. Atau saya sendiri yang menghajarnya--Hei, kenapa kalian diam?"

Wajah-wajah asing itu, yang datang hanya sekedar menonton, atau wajah putus asa seorang dokter yang tak bisa melakukan apa-apa lagi, Pak saleh menatapnya satu-satu.

"Bangunkan, dia!"

Pak Saleh mengguncang pundak seorang perawat.

"Oh, Mas Dokter. Karim memang takut suntikan, sama seperti saya, siapa tahu kalau Sampean suntik, dia mau bangun!"

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang