Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Seperti biasa. Menjelang sore, jalanan Sumbergede ramai oleh santri yang lalu-lalang. Warung-warung nasi mulai ramai dikunjungi. Pedagang pentol dan jajanan pasar sedang sibuk melayani. Normalnya, Keramaian seperti itu akan terus berlangsung sampai lantunan ayat suci di masjid berganti menjadi adzan maghrib. Jika saat itu tiba, maka semua pertokoan di sekitar pesantren harus tutup, dan para santri juga santriwati wajib menuju masjid.
Pukul 18.30 WIB, adalah waktu dimana Sumbergede berada pada titik paling sepi. Baik santri maupun warga sedang khusyuk beribadah dan baru beraktivitas kembali setelah shalat isyak. Dalam keheningan itu, dua buah mobil pickup melintas dengan kecepatan tinggi. Masing-masing mobil membawa setidaknya delapan orang dan masing-masing orang menggenggam senjata tajam. Mobil itu melewati jalan utama desa, lalu berbelok ke timur. Kejadian tersebut sempat menyita perhatian santri yang sedang berkumpul di masjid. Mereka menyaksikan dengan penuh tanda tanya, kemana orang-orang berwajah garang itu akan pergi?
***
Pukul 19.00 WIB. Adzan isyak tengah berkumandang. Anak-anak yang sedang mengaji di musalla Tabarokah mulai merapikan Quran masing-masing dan bersiap shalat jamaah. Saat itulah seorang pria lewat di depan Mushallah. Badannya kurus dan tidak terlalu tinggi, tapi lengannya bertato dan di pundaknya ada sebilah katana. Anak-anak yang berada di tempat wudu pun ketakutan dan segera kembali ke musalla. Dari balik kaca jendela, mereka menyaksikan pria tadi sedang mondar-mandir di halaman. Kemudian melihat ke mushallah seolah sedang mencari sesuatu. Atau mungkin seseorang.
Dengan isyarat tangan dari orang itu, datanglah delapan orang lagi yang semuanya membawa senjata tajam. Mereka memenuhi halaman musalla dan mengepung tempat ibadah itu seolah tidak mengijinkan siapapun untuk masuk.
Di dalam musalla, seorang anak yang paling tua berusaha menenangkan teman-temannya. Ia harus berbohong dengan mengatakan bahwa orang-orang itu sedang berkumpul untuk membasmi Ninja. Seketika, musalla itu menjadi ramai karena anak-anak dengan antusianya membicarakan sosok Ninja yang belakangan ini selalu jadi topik hangat di madrasah.
Tidak berapa lama kemudian, obrolan bocah itu bubar manakala guru ngaji mereka datang ke musalla, setelah pamit pulang untuk mengunci pintu rumah. Dia adalah seorang guru ngaji yang masih berusia 26 tahun, dan termasuk pendatang baru di desa Sumbergede. Sebagai tetangga baru, tentu ia merasa asing dengan wajah-wajah bengis yang saat ini sedang berkumpul di depan musallanya. Akhirnya, senyum dan sapa ustad itu padam kala menyadari bahwa orang-orang itu sedang menunggu kedatangannya.
"Itu, Ustad datang." Kata salah seorang anak berusia tujuh tahun yang tersenyum senang melihat datangnya Sang Ustad.
Kemudian anak yang lain menyusul. Mereka menyambut kedatangan gurunya dengan suka cita, karena semakin cepat shalat jamaah dimulai, maka semakin cepat mereka pulang untuk menonton acara TV kesayangan. Sayangnya, malam ini mereka disuguhi tontonan berbeda. Teriakan girang anak-anak memekik saat tiba-tiba sebilah pedang menebas dada guru mereka. Selagi darah masih menyembur deras, seseorang kembali menebas punggung ustad malang itu dengan sebuah kapak pemotong kayu.
Hiruk-pikuk di dalam musalla. Ada yang menepi ke tempat Shalat imam dan saling berpelukan. Ada yang menangis memukul kaca jendela sembari memanggil ayah dan ibunya. Ada yang hanya diam membeku menyaksikan gurunya dibantai di depan matanya.
Semua berlangsung dengan cepat. Mereka mungkin bisa mengingat setiap detail peristiwa malam itu, tapi yang akan menjadi trauma, adalah saat mayat gurunya diseret dan naikkan ke atas mobil pickup yang baru saja datang menjemput kawanan itu. Warga baru tiba di musalla saat asap knalpot mobil mulai menipis lalu menyatu dengan udara malam. Mereka menghampiri anak-anak malang itu, walau sebelumnya harus menyeberangi genangan darah di halaman musalla.
***
Di saat yang bersamaan; di gang yang berbeda. Ustad Mahrus sedang menikmati sensasi panas koyo cabe di kedua pelipisnya. Matanya terpejam dan pikirannya melayang. Masih terasa nyeri di kepala dan rasa ngilu setiap kali alisnya bergerak. Karenanya ia hanya diam di ruang tamu, duduk santai seperti tidak punya hutang.
Sudah tiga puluh menit sejak kepergian istrinya, dan Ustad Mahrus sangat menikmati kesendirian itu. Surat ancaman yang didapatnya tadi pagi tidak lagi jadi beban pikiran, karena saat ini Tiga orang tetangga sedang berjaga di luar. Ustad Mahrus merasa punya segalanya, kenikmatan dan keamanan. Ia hanya perlu sebuah ketenangan, sebelum lelap di pebaringan. Sayangnya, ketenangan itu semakin tak teraih karena di luar rumah mulai terdengar keributan.
Ustad Mahrus melihat bayangan orang-orang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Ada kaca hitam di daun pintunya yang secara samar menampakkan wajah manusia, pertanda orang di luar sedang mengintip ke dalam. Saat itu, Ustad Mahrus sudah bersembunyi di balik kursi. Ia sadar bahwa yang sedang mengintip itu bukanlah orang suruhannya. Pikirannya mulai mencocokkan isu yang beredar dengan situasinya sekarang.
Konon. pembunuh yang disebut Ninja itu selalu datang dan pergi diam-diam. Lantas, siapa dan mau apa orang-orang di luar itu?
Ustad Mahrus segera tahu jawabannya. Pintu rumahnya dibuka paksa hingga membentur tembok dan memecahkan kacanya. Masih di balik kursi. Ia masih bertanya-tanya siapa yang sedang ia hadapi. Orang-orang itu semakin dekat. Ustad Mahrus bisa melihat kilatan cahaya dari ujung benda tajam yang lewat di sampingnya. Semakin lama diperhatikan, semakin terlihat ada bercak darah.
ASSALAMUALAIKUM, USTAD.
Pelan-pelan Ustad Mahrus menoleh ke atas, melihat dengan jelas wajah seorang pria tengah menyeringai karena berhasil menemukan persembunyiannya.
Selanjutnya, ia diseret dari rumahnya dengan sangat kasar. Sempat melakukan perlawanan, sebelum perutnya dihantam sarung pedang. Sampai di halaman rumahnya, kaki Ustad Mahrus benar-benar lemas saat melihat delapan orang sudah menunggunya. Di halaman rumah, tiga orang tetangganya yang sedang bertugas jaga sudah terkapar tak berdaya. Mereka masih hidup, hanya saja tidak akan lama melihat luka di sekujur tubuh mereka sangat dalam.
"Geledah!" Perintah salah satu dari orang-orang misterius itu.
Berkali-kali Ustad Mahrus memperhatikan wajah mereka. Selain yang memang mengenakan penutup wajah, orang-orang ini sama sekali asing baginya. Logat bicara mereka pun tidak seperti suku madura kebanyakan. Membuat ustad Mahrus bertanya-tanya, apakah dirinya sedang menjadi korban perampokan.
Merampok, jam segini? Tidak mungkin.Pasti ada hal lain yang mereka inginkan dari saya.
Tidak lama berselang, seorang dari komplotan bersenjata itu keluar membawa kotak laci yang berasal dari lemari di dapur rumah Ustad Mahrus. Diperlihatkan isi kotak itu pada rekan-rekannya, lalu mereka semua mengangguk seperti sudah sepakat.
"Apa? Kenapa dengan laci itu? Apa yang kalian inginkan?"
"Sampean selalu minta bayaran mahal setiap kali diundang, menjual ayat-ayat suci untuk mengisi perut sendiri. Sekarang kami sudah punya bukti, kami juga punya saksi, dan karena santet tidak bisa diproses secara hukum, maka terimalah pengadilan kami."
Ustad Mahrus melihat isi dari barang-barang di laci yang membuat matanya terbelalak. Berkali-kali ia memohon dan membela diri, tapi percuma, karena orang yang berada di sampingnya sudah mengangkat kapaknya tinggi-tinggi.
"Tolong dengarkan saya, benda-benda itu bukan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...