Halim, Masjo dan Mbah Sopet telah sampai ke Sumbergede. Tempat yang pertama kali mereka datangi adalah kediaman Kiai Fatah. Setelah melewati penjagaan yang berlapis-lapis, akhirnya mereka sampai juga di pendopo. Mbah Sopet memimpin di depan, bergaya ala dukun sakti dengan cincin akik di kelima jari. Menyusul di belakangnya, Halim yang lemas kelaparan, serta Masjo yang kakinya lemas gemetaran.
"Kenapa kalian jalannya mirip penyu begitu? Ayo cepat!" Mbah Sopet memberi semangat, lalu mempercepat langkah kakinya.
"Apa kakek lupa, kalau di sini ada korban penyanderaan yang sedang kelaparan?" Gumam Halim.
"Apa kalian lupa, kalau di sini ada tukang becak kakinya hampir copot? Gila. Tambangan ke Sumbergede itu jauh sekali tretan." Gerutu Masjo.
"Kalian bilang sesuatu?"
"Tidak Mbah Gunawan," jawab Halim dan Masjo.
Di Pendopo, mereka dipertemukan dengan Ki Rahwan, yang saat ini sedang bersama kedua murid Pak Saleh. Kedatangan Mbah Sopet yang berkesan gawat, membuat Ki Rahwan langsung angkat pantat.
"Kiai Fatah?"
"Ada di Ndalem, kenapa? Ada kabar baru yang kamu dapat?" Tanya Ki Rahwan.
"Ya, kita harus menemui Beliau sekarang juga. Sementara kalian," Mbah Sopet menunjuk Adam dan Ghazali, "Kabarkan pada ketua di tiap pos jaga, agar menyuruh sebagian anak buahnya kembali ke rumah masing-masing. Perketat juga penjaga di gerbang pesantren, dan rumah para tokoh sepuh."
"Lho, kenapa Mbah?" Tanya Ghazali.
"Ada kelompok yang memanfaatkan situasi ini untuk bersih-bersih daun kering--Ah iya. Beritahu mereka agar memperketat juga penjagaan di rumah orang-orang ini."
Mbah Sopet menyodorkan sebuah kertas.
"Tidak usah tanya!" Tandas Mbah Sopet, melihat Ghazali hendak membuka mulutnya.Akhirnya bisa duduk selonjoran juga. Masjo bernapas lega. Sekarang, pria malang itu bisa merasakan kedua kakinya lagi. Mengusir semut-semut ghaib yang baru saja menggerayanginya.
"Baik, Mbah. Kami cari pinjaman sepeda dulu, karena kami ke sini jalan kaki." Ujar Adam.
"Tidak ada waktu, kalian pergi bersama murid saya saja, naik becak," Mbah Sopet melirik Masjo yang langsung bekeringat dingin.Ya Allah, terimalah segala amal ibadahku.
***
Menyurusi selasar yang membelah taman berumput hijau nan luas. Mbah Sopet dan Ki Rahwan menuju Ndalem Kiai Fatah. Sepanjang jalan, para santri mondar-mandir siaga. Berbekal kopi dan kerupuk sebagai cemilan. Menyusul di belakang Mbah Sopet, adalah Halim dengan perut keroncongan. Saat seperti ini, kerupuk para santri jadi kelihatan lezat di matanya.
"Kemana Gusafar dan Jalu?"
"Tidak tahu. Saya pikir mereka bersama sampean?"
"Bah, bukannya kalian bersama-sama menjenguk Karim?"
"Ya, setelah itu kami ada urusan masing-masing."
***
Di kegelapan hutan Sumbergede, berpayung pepohonan rindang. Kawanan berbaju hitam tak bisa menunggu lebih lama. Beberapa rekan mereka tak kunjung kembali ke titik pertemuan, dan sekarang, mereka mulai kelimpungan.
"Kita bubar!"
"Bubar? Bagaimana dengan teman-teman kita yang lain?"
"Mereka tidak akan kembali."
"Kau meragukan teman sendiri?"
"Kamu tidak melihat bagaimana Salehudin membunuh satu orang dari kita, hanya dengan satu pukulan. Bukan meremehkan, tapi sejujurnya, kita salah perhitungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...