Kakek tua itu duduk sendirian di teras, menikmati sepinya halaman rumah. Merenung tapi siaga. Mata sayu sedikit mengantuk, tapi tajam menantang gelap. Yang dilihatnya ke utara hanya Sawah Pak Kiai. Membentang tak tampak ujungnya. Dan, di seberang sawah adalah bayang pepohonan hutan beragam jenis dan tinggi.
Lalu, di barat rumahnya ada Sawah Pak Kiai—lagi. Bedanya hanyalah di ujung. Yang berjejer di barat bukan pepohonan, melainkan lampu-lampu rumah warga. Kelihatan hanya titik-titik kecil pertanda rumahnya itu benar-benar jauh dari desa.
Kakek itu adalah Salehudin. Pak Saleh yang perkasa. Yang makin tahun makin tua, dan cerita tentangnya hanya diingat oleh yang sama-sama tua. Para saksi kehebatan Pak Saleh mungkin sudah lama mati. Kini, hidupnya tenang di pinggiran desa; pinggiran hutan Sumbergede. Bukan lagi sebagai Jawara, tapi sebagai pembuat layangan. Idola para anak-anak, tapi musuh bagi ibunya.
Malam ini, tanda silang besar digambar di dinding rumahnya yang terbuat dari papan kayu. Mula-mula permukaan dinding itu dicat putih menyeluruh, lalu dicoreti silang merah tak beraturan, macam orang tidak punya kerjaan. Kecuali... Pak Saleh memang tidak punya kerjaan.
"Lapar," Kata Pak Saleh sambil mengusap perut cekungnya.
Baru Pak Saleh ingat bahwa ia belum makan siang. Hari ini pun hanya sarapan ketan dengan sedikit taburan garam. Kalau saja keluarganya tahu, Pak Saleh bisa kena marah. Bukan dia tidak dirawat, tapi, jatah beras dan lauknya selalu habis dibagi-bagikan. Kalau bukan pada tamu, biasanya pada anak-anak yatim yang jadi pelanggan setianya.
H. Karim sering bilang, "Sedekah itu yang pintar, donk! Jangan dibagi-bagikan semua. Kalau gini terus, nanti dikira tetangga saya tidak mengurus orang tua."
"Memang," Celetuk Pak Saleh.
"Oi, ngajak berantem, hah?"
Pak Saleh geleng kepala. Coba membuang percakapan di kepalanya barusan. Lalu, Pak Saleh cemberut membayangkan anaknya jadi sekeras dirinya dulu. Kalau berantem sama Karim sekarang, mungkin saya tidak akan menang. Tapi...
Ada sebuah pohon besar di dekat pintu masuk halaman rumahnya. Di antara rindang daunnya yang gelap, terlihat percikan api menari-nari; berkali-kali. Pak Saleh tersenyum melihatnya.
Mereka...
SUDAH DATANG
Seseorang sudah berdiri di belakang Pak Saleh dengan sebuah kawat besi tergulung di kedua tangan, dan siap mencekik leher kakek tua itu.
Innalillahi... Pak Saleh memejamkan mata. Tersenyum menerima takdirnya sendiri.
Selanjutnya, kawat tipis itu terbenam dalam leher kurus Pak Saleh. Ditarik dengan sangat kuat, membuat tubuh Pak Saleh ikut ke belakang--terus ke belakang memasuki pintu rumah, sampai Pak Saleh pun hilang dalam kegelapan rumahnya sendiri.
***
"Kenapa?" Tanya Ki Rahwan.
Adam dan Gazali garuk kepala. Keduanya bingung dengan reaksi Ki Rahwan yang sangat marah tapi sangat santai. Setelah memberi kabar bahwa Pak Saleh kembali berulah, Ki Rahwan hanya bangun, memaki, memukul kepala Adam dan Gazali, lalu duduk kembali sambil mengepulkan asap rokoknya yang baru disulut.
"Anu... apa tidak sebaiknya Sampean menyusul Kak Tuan?"
"Benar, Ki. Saya sangat khawatir." Gazali membenarkan.
Ki Rahwan mendesah. Hidung dan mulutnya penuh asap. Ada kepuasan tersendiri setiap kali melihat orang tua merokok. Mereka tidak hanya menikmati, tapi juga menghayati. Adam dan Gazali tahu, mereka tidak bisa menyaingi kemantapan rupa Ki rahwan saat itu. Ki Rahwan merokok tanpa takut mati. Karena baginya, mati adalah esok hari. Kalaupun tidak, berarti ada bonus untuk merokok lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...