Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Masih membekas di ingatan Fatah tentang kondisi H. Karim yang parah. Walau demikian, sebagian besar warga merumpi dengan mantap, bahwa H. Karim menang melawan delapan orang preman. Mendengar hal tersebut, tidak lantas membuat Fatah bangga. Sudah sering H. Karim diposisikan sebagai pahlawan, dan kerap kali diandalkan saat terjadi konflik di desa. Bagi fatah, ini adalah beban. Konsep kepahlawanan di zaman sekarang sudah bergeser makna.
Sesumbarkan segala bentuk prestasi, walaupun tidak hebat, maka kamu akan disebut pahlawan. Bangun sebuah kamar mandi, walaupun tidak membersihkan badan, setidaknya kamu disebut pahlawan. Bertahan dalam bencana yang semua orang mati karenanya, walaupun kamu terluka parah, kamu akan disebut pahlawan. Fatah merenung di tengah obrolan seriusnya dengan polisi.
"Oh, maaf. Sampai di mana tadi?"
Polisi itu berdeham. "Anda belum memberi tahu kami dimana Pak Karim dirawat. Kami sangat butuh keterangan beliau, termasuk plat nomor dari kendaraan yang dipakai komplotan itu."
"Percuma, Pak. Abah saya bahkan tidak bisa ingat nomor telepon rumah, apalagi nomor mobil yang baru sekali dilihatnya." Fatah tertawa geli.
Rumah Fatah menjadi tontonan warga. Mereka meneliti dengan celinguk penasaran, lalu membisikkan rangkuman penelitiannya pada teman di sampingya; teman yang sebenarnya juga sedang meneliti. Kadang, hal ini terasa tidak sopan jika bisikan mereka dapat didengar jelas oleh tuan rumah. Beruntung Fatah mewarisi sifat Salehudin tua, andai H. Karim yang mendengar, pastilah warga tersebut sudah digiring pulang bak kambing yang tersesat di ladang.
"Hei," Sapa Aluf.
"Kamu--Bagaimana bisa kamu melewati garis polisi?" Pekik Fatah. Ia tidak pernah terbiasa dengan kemunculan Aluf yang tiba-tiba.
"Menunduk," Jawab Aluf datar.
Sebaiknya saya tidak meladeni gadis ini. Fatah berdeham, "Begini Ning Maulida, kehadiran Jenengan ke sini bisa jadi pusat perhatian warga. Akan muncul juga opini-opini receh yang nantinya merugikan saya dan Anda." Fatah bersikap formal. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada Aluf, karena mereka sudah bersahabat sejak lama.
"Aku sudah pakai masker, tidak akan ada yang mengenaliku."
"Tapi kamu masih pakai seragam madrasah--Ah, saya harus sabar." Emosi Fatah benar-benar naik-turun. "Jadi, ada apa?"
"Abah minta kamu dan keluargamu untuk tinggal di pesantren sampai suasana kembali tenang." Tutur Aluf sambil menggigit jari telunjuknya dari balik masker.
"Kalau begitu, bawa saja Nurina dan anak-anak. Saya akan tetap di sini."
"Bodoh!"
Dosakah saya kalau menjewer anak Kiai? "Terserah!" Geram Fatah, "Ada banyak keluarga di luar sana yang setiap malam ketakutan karena teror ini. Untuk berlindung di balik dinding pesantren, saya akan merasa sangat bersalah. Bukan saja terkesan memanfaatkan kedekatan Abah pada Ahlul Bait, tapi hati nurani saya menolak itu. Karenanya..." Fatah menundukkan wajah dan berkata dengan mantap, "Saya menolak dengan hormat tawaran jenengan."
Tidak tampak bagi Fatah, tapi, Aluf sedang tersipu kagum di balik maskernya. Fatah yang penakut dan sangat payah, kini menunjukkan sisi pahlawannya sebagai seorang ayah, juga sebagai seorang warga yang mencintai desanya.
"Sesukamu saja! Perlu diingat, Haji Karim masih jadi incaran mereka. Kemungkinan besar malam ini mereka akan mendatangi rumah ini lagi. Entah lewat pintu depan, atau lewat pintu belakang."
"Terima kasih sarannya." Kata Fatah dengan senyum tenang.
Ia menyaksikan Aluf pergi meninggalkan lokasi. Walau datang dengan penampilan mencolok, tapi tidak satupun yang peduli pada gadis itu. Aluf melewati keramaian warga dan polisi dengan santai, seolah kehadirannya tidak dianggap.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
TerrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...