Tidak ada hujan di Desa Leduk. Iklim yang mandiri, seolah Leduk punya kemarau sendiri. Pada batas antara rabu dan kamis; Dini hari sebelum pengeras suara masjid berbunyi, pemakaman Astah Dejeh memulai drama penuh pilu, dingin, dan sesak. Yang berbaris di luar gerbang adalah deretan santri dan santriwati. Tidak perlu banyak untuk dramatis. Cukup seratus orang dengan wajah kosong dan hati remuk redam. Lalu, yang berbaris di dalam adalah para Alim Ulama, Ahlul Bait, sahabat, simpatisan dari seluruh penjuru Banyusirih. Berdiri mengelilingi sebuah kuburan baru, dengan tanah yang masih kelihatan basah.
Mengukur besarnya sakit hati mereka, dapat dilihat dari keheningan yang tercipta. Ratusan orang berkumpul di tempat yang sama, namun tidak satupun bersuara. Tidak bicara. Hanya sayup-sayup angin di tepi pantai, dan ombak yang menyusul di bawahnya.
Mahrum bin Bahrudin. Namanya tertulis di batu nisan, kenangannya terpahat di hati para sahabat dan murid-muridnya. Tentu saja setelah apa yang terjadi, kepergian sang Kiai melahirkan dendam di hati para keluarga, dan para pembela yang siap bertaruh nyawa.
"Assalamualaikum, Warahmatullahi, Wabarakatuh," Kiai Ilyas membuka upacara. Sebuah pengantar sebelum semuanya pulang.
"Saya mengerti, sahabat, dan adik-adik sekalian. Setelah ini, langkah kalian akan terasa sangat berat. Jika sampai di rumah nanti kalian sempat mererung dalam duka dan tangisan, atau mungkin dalam dendam. Tolong ingatlah, bahwa Almarhum tidak hanya meminta kalian menahan tangis, tapi juga amarah. Tidakkah pesan terakhir Almarhum sangat kalian junjung tinggi?"
***
"Dengar, kalian berdua. Saat santri –santri saya menjadi sukses di masyarakat, saya ingin ada di sana. Saat anak dan cucu saya dewasa dan bahagia, saya ingin ada di sana. Saat desa kita makmur dan sejahtera seperti tetangga, saya ingin ada di sana. Percayalah, saya ingin begitu. Tapi saya tidak punya tempat di masa depan. Tidak ada peran untuk saya di masa-masa itu. Sayang sekali, saya harus jadi pembuka perang dingin ini. Hehe, memang seorang tua dan lemah seperti saya tidak akan bertahan lama di medan tempur"
"Kiai jangan banyak bicara, sebentar lagi bala bantuan datang!" Seru Emping.
"Berjanji sama saya! Setelah orang-orang desa datang, tolong urus supir saya terlebih dahulu."
"Kiai..."
"Saya percaya pada kalian! Tolong jangan menangis saat datang ke pemakaman, dan jangan dendam saat kalian pulang."
"Man Mahrum! Tolong berhenti bicara. Ya, Allah. Kenapa darahnya tidak mau berhenti."
"Heh, pada akhrinya tukang gali kubur tidak dapat menggali liang lahatnya sendiri. Saya percayakan pada kalian. Saya—ah, mereka datang.—saya sudah siap bertemu Ki Mujur lagi. Saya..."
***
"Tahan air matamu, Emping!"
Anto menepuk bahu Emping. Membuyarkan ingatan pemuda itu akan kalimat terakhir Kiai Mahrum. Masih tersisa sesal di hati Emping. Sampai matipun, ia merasa bahwa semua ini adalah akibat kelalaiannya. Emping terlalu lemah hingga tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Ingat, ini adalah pilihan Kiai. Beliau sengaja melakukannya agar santrinya selamat."
"Kakak tidak tahu. Kakak tidak tahu betapa pengecutnya saya malam itu."
"Siapapun akan jadi pengecut saat bertemu dengan kematian. Bahkan kakak sekalipun."
Emping mendongak, mencoba melawan Anto dengan kata-kata pamungkasnya, namun melihat mata kakak iparnya basah, Emping jadi mengerti bahwa bukan hanya ia yang sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...