CHAPTER 0 - ABDUL KARIM (PART 1)

17.4K 2K 411
                                    

Karim digiring warga. Usianya baru empat belas tahun saat dia ditangkap karena memporak-porandakan dagangan orang di pasar, dan itu sudah dilakukannya berkali-kali, kalaupun baru tertangkap, itu karena warga tahu siapa bapaknya Karim. Untuk sekali ini saja warga tidak peduli. Karim sudah melewati batas. Kerusakan yang dibuat olehnya tidak cukup ditebus hanya dengan minta maaf.

"Penjarakan saja saya!"

"Diam!"

"Atau bawa saja ke Kamtib Pesantren!"

"Sudah dibilang, diam!"

"Tolonglah, saya rela kalian pukul, asal jangan dibawa pulang," Karim merengek, takut.

"Kemana nyalimu, bocah Dumeng? Kemarin saja kamu bilang tidak takut sama siapapun. Masih beruntung kami membawamu pulang. Harusnya kamu dipolisikan saja."

"Ide bagus, polisikan saja saya, asal jangan dibawa pulang."

"BERISIK!" Bentak warga, bersamaan.

Warga yang ikut ada sepuluh orang. Mereka menyusuri kebun kelapa milik pesantren yang luas, yang di tengah-tengahnya berdiri sebuah rumah. Di depan rumah itu banyak tumpukan kayu, bambu, dan pelepah pisang, dan di samping rumah ada kandang sapi yang ditempati sedikitnya empat ekor kucing. Benar-benar rumah yang membingungkan. Bisa ditebak seperti apa pemiliknya.

"Sek, dulu. Benar ini rumahnya, tah?" Tanya seorang warga.

"Sepertinya begitu, soalnya ini rumah satu-satunya di kebun ini."

"Hei, Karim, apa benar ini rumah abah—NGAPAIN KAMU DI ATAS?"

Entah sejak kapan Karim memanjat. Sekarang dia sudah ada di atas pohon kelapa, memeluk batangnya dengan tangan dan kaki yang salah satuya diikat dengan seutas tali. Warga memperlakukannya seperti kera, karena memang begitulah Karim dijuluki.

"Saya sudah sampai di rumah, kan? Jadi, sebaiknya Lek semua pulang," Ujar Karim, dengan gaya mengusir.

"Kurang ajar sekali nih anak. Kami tidak akan pulang sebelum bertemu dengan Abahmu."

BERISIK!

Seseorang keluar dari rumah itu. Merasa terganggu karena berisiknya warga, dan wajahnya saat itu benar-benar sedang tidak ramah. Warga sudah mundur selangkah karena takut. Mereka sudah banyak mendengar tentang orang itu, tapi baru kali ini bisa bertemu langsung dengan Muhammad Salehudin, orang-orang desa biasa memanggilnya Musa. Tinggi, tegap, kurus tapi berotot, hanya satu hal yang tidak sesuai dengan cerita orang, Salehudin yang warga temui justru gundul, tidak gondrong.

"Lho, Kalian bukan santri?" Tanya Salehudin.

"Bu-bukan, kami pedagang di pasar kampong, Kang," Jawab salah seorang warga, canggung dan takut.

"Ah, pantas muka kalian tua, hitam, mengkilap dan tidak tahu caranya mengucap salam," Salehudin terbahak-bahak, membuat warga bingung bagaimana harus bersikap, "Ada apa?" Tanyanya.

"Nganu, Kang Musa. Ini tentang Karim, putra jenengan. Hari ini dia menghancurkan dagangan kami di pasar. Ini bukan pertama kalinya, dan kami sudah merugi banyak."

"Mereka sering pakai pemberat timbangan, sering menipu pembeli," celetuk Karim, teriak dari atas pohon kelapa.

"DIAM!" Sergah Salehudin.

Karim menciut, menyembunyikan wajah di balik batang pohon. Warga pun ikut takut.

"Apa Karim mencuri sesuatu?" Tanya Salehudin.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang