Desa Tambangan, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Sore hari yang sepi. Desa Tambangan memang kecil, tapi sore ini terlalu sunyi. Ada banyak rumah yang tutup--baik gerbang dan gordennya, seolah ditinggalkan pemiliknya. Beberapa warung kecil masih menjajakan dagangan, walau pembeli dan penjual tidak tampak bertransaksi, tapi musik dangdut dari radio itu jadi pertanda bahwa warung masih buka.
Tambangan adalah simbol hidup yang keras. Miskin sudah jadi identitas bagi penduduknya yang mayoritas buruh tani. Menyemai di tanah orang, menuai di bumi orang, mendapat sekedarnya dari belas kasih orang. Usaha tidak pernah menghianati hasil--katanya. Tapi, katakan itu pada penduduk Tambangan, maka akan mereka suguhkan segudang bukti betapa kerja kerasnya tidak sebanding dengan upah yang didapat. Kertas ataupun logam, semua hanya cukup ditukar beras. Ironis, mereka beli mahal beras yang ditanamnya sendiri, dengan uang bayarannya yang sangat rendah.
Sanksi sosial. Begitu orang-orang menyebutnya. Kemiskinan Tambangan dianggap pantas karena sisi gelap yang dimainkan pemimpinnya pada sejarah 1960 silam. Tambangan adalah daerah tandus--Dulunya bernama Batu Ampar. Warganya tinggal di bukit-bukit gersang bebatuan, yang mana harus menuruni bukit dulu untuk mencari air bersih. Sejak dulu, tanahnya sudah dikeruk, dan batu-batunya diangkut secara ilegal untuk pembangunan.
Pada masa gerilya Bendera Merah, Tambangan mulai diperebutkan hak dan statusnya. Konflik dari berbagai golongan pun tidak bisa dihindari. Masing-masing ingin menguasai. Walau sebenarnya tidak dibutuhkan, sengketa tetap terjadi agar Tambangan tidak jatuh ke tangan oposisi.
Munculnya dua kekuatan besar yang saling berebut tanah mereka, membuat Penduduk asli Batu Ampar meradang. Mereka menolak kanan dan kiri. Mereka berseru; Tambangan tidak perlu berlindung di balik bayangan bendera tertentu. Merah dan putih sudah cukup menaungi. Perlawanan ini dilakukan dengan gagah berani. Baik tua, muda, pria dan wanita semua rela mati.
Dimulai dari penutupan akses ke Batu Ampar yang sejak awal memang sudah susah. Hingga dirusaknya berbagai alat berat dan berujung pembakaran tenda-tenda para pekerja ilegal. Korban mulai berjatuhan dan masalah itu tidak sekedar aksi bela diri lagi. Polisi mulai -turun tangan, dan dari sinilah konflik semakin membesar--Efek bola salju--Mereka yang ada di puncak cukup melempar segenggam, bergulir semakin besar, hingga korbannya adalah orang-orang di dasar.
Kemarahan penduduk Batu Ampar dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk memunculkan poros ketiga. Para warga dipersenjatai tapi tidak pernah dilatih. Hingga saat aparat tiba di lokasi, pertumpahan darah tidak bisa dihindari. Belum lagi, kubu kanan dan kiri sangat cermat mengambil posisi. Selagi warga batu ampar berurusan dengan aparat, semua harta kekayaan alam mereka raib dalam waktu kurang dari enam bulan.
Batu Ampar menjadi Tambangan. Membuang nama yang lebih dikenal sebagai medan perang. Setelah jadi bagian dari Banyusirih, penduduk asli Tambangan hanya tinggal lima persen. Sisanya adalah mantan buruh ilegal yang ditelantarkan setelah bekerja tahunan dan tidak mendapat upah. Desa yang didominasi pendatang, dan memiliki latar belakang perang dingin, tentu saja butuh waktu lama untuk bangkit.
Para ulama Banyusirih melakukan pendekatan. Rumah ibadah gencar dibangun bertujuan memperbaiki moral dan spiritual warga Tambangan. Sayang sekali, musala dan masjid tidaklah menghasilkan uang. Ekonomi di Tambangan semakin terpuruk. Tidak ada lahan yang bisa ditanam, tidak ada hasil bumi yang bisa dijual. Hingga akhirnya, mereka jatuh pada gelapnya dunia kriminal.
***
"Sampean masih di sini?" Tanya Ustad Nasim.
Mbah sopet dan Masjo--kerabat sekaligus muridnya--Masih betah menunggu di ruang tamu; di kediaman Ustad Nasim. Untuk hari ini saja mereka menjadi tamu tidak tahu diri. Keduanya sudah datang sejak pukul sembilan pagi, dan belum juga pulang hingga pukul setengah lima sore. Wajar jika Ustad Nasim kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
TerrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...