CHAPTER 19 - SEBELUM PEMBANTAIAN

19.7K 1.9K 92
                                    

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan

Malam yang sama. Di jantung desa Sumbergede, ada duka berbeda yang luput dari perhatian warga. Pada sebuah rumah sederhana di dekat pasar, terdengar tangis histeris seorang anak. Berkali-kali anak gadis itu memanggil nama bapaknya. Tapi bapaknya hanya diam. Tidak ada yang ditangkap dari pandangan kosong ke langit-langit rumah, ataupun bacaan ayat suci yang dikumandangkan di telinga. Sang bapak seperti mati. Ia masih bernafas tapi jiwanya tidak di sana lagi.

Bowo adala salah satu saksi. Pemandangan itu terjadi tepat di samping rumahnya, dan sebagai tetangga yang baik, Bowo sudah siaga jikalau hal yang paling buruk terjadi. Tidak banyak yang bisa Bowo lakukan, selain mendoakan tetangganya kembali sehat seperti sedia kala.

"Kang Bowo." Sapa seorang pria bernama Jumad.

"Ada perkembangan?" Tanya Bowo.

Jumad duduk di samping bowo yang sejak tadi siaga di bangku kayu, di luar rumah. Berdua tetap terjaga dipayungi langit malam, diiringi suara tangisan dari dalam.

"Kondisi bapak jauh lebih parah dari yang saya ingat, Kang."

"Perutnya?"

"Busuk," Jawab Jumad sambil menahan tangis.

"Saya turut prihatin." Bowo coba menghibur.

Tangisan di dalam rumah seperti belum mencapai titik lelah. Jumad sudah menyerah untuk menenangkan adik perempuannya. Gadis itu masih saja histeris di samping tempat sang bapak berbaring.

"Satu minggu lagi, adik perempuan saya akan menikah. Melihat bapak seperti ini, saya bisa memahami ketakutannya."

"Kalau hal yang buruk terjadi pada bapakmu, sebagai anak pertama kamu yang harus mengambil alih beban ini."

"Tidak, kang. Saya malu. Saya sudah banyak menyusahkan keluarga. Seandainya saja bapak masih sehat, beliau pasti tidak sudi melihat wajah saya. Beliau lebih senang kalau saya kembali ke penjara."

"Jumad, jangan terlalu kejam pada diri sendiri. Kebebasanmu pasti punya tujuan. Setelah ini, ada amanah yang harus kamu emban. Jadi tulang punggung keluarga, jadi wali untuk kedua adikmu. Jadi, berhenti menyesali masa lalu."

Tampak empat orang warga datang mengendarai sepeda motor. Mereka berhenti tepat di depan Bowo dan Jumad.

"Maaf, Kang Bowo. Beliau tidak bisa datang ke sini."

"Lho, kenapa? Apa kalian tidak bilang kalau bapaknya sedang sekarat?" Tanya Bowo yang mulai terbawa amarah.

"Adik saya yang itu memang tidak pernah peduli sama bapak." Timpal Jumad penuh benci.

"Bukan begitu Mad, adikmu juga sedang dilanda musibah. Mertuanya yang sudah lama sakit, tadi siang meninggal dunia. Makanya dia belum bisa ke sini sekarang. Dia janji selepas subuh akan menyusul."

"Innalillahi" Jumad menutup wajahnya. Berharap menghapus kebenciannya dengan sedikit rasa maklum.

"Selain itu, Kang Bowo. Kami juga tidak bisa membawa ustad Mahrus ke sini. Sejak isu Ninja mulai merebak, Ustad Mahrus sudah tidak mau menerima undangan warga, apapun alasannya."

Bahu bowo merendah. Mendengar semua laporan temannya itu membuat Bowo putus asa. Empat orang yang datang barusan adalah tetangganya, yang Bowo utus untuk menjemput Adik laki-laki jumad, sekaligus mendatangkan seorang ustad untuk merawat Bapak Jumad.

"Sepertinya, banyak hal buruk terjadi di desa ini selama saya di penjara." Ujar Jumad sedih.

"Banyak—banyak sekali. Dalam satu bulan terakhir, delapan orang mati karena santet. Mereka berasal dari desa-desa di sekitar banyusirih." Kata Bowo.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang