Penyerangan terhadap Kiai Fatah dan sejumlah petugas keamanan pesantren tersebar di kalangan para santri. Termasuk ke mana para penyerang itu kabur. Tentu saja para santri murka. Tanpa sempat berzikir, sehabis salat mereka langsung turun dari Masjid. Tak peduli sandal dan sajadahnya tertukar. Begitu gerbang halaman masjid dibuka, santri sudah menghambur ke luar sambil berteriak, menyerukan perang. Kendati demikian, hanya puluhan santri yang berhasil sampai di area pembuangan sampah. Jika tidak dihalau oleh para kepala asrama, mungkin yang datang bisa lebih dari seratus, atau bisa jadi seluruh santri di Sokogede.
Mbah Sopet ada di antara puluhan orang itu. Ia yang memimpin. Sesampainya di tempat pembuangan sampah, Mbah Sopet hanya mendapati tiga orang. Dua di antaranya sudah berbalur sampah, sementara satu orang masih berdiri gagah.
"Saleh?" Mbah Sopet memberi isyarat ke belakang agar para santri tidak mendekat.
Mbah Sopet menelaah situasi dan kondisi. Matanya langsung mengenali Rodin. Wajah itu sudah cukup melegakan, hingga tak peduli lagi pada orang satunya.
"Kakeh pergi tidak pamit, datang juga tidak memberi kabar," sindir Mbah Sopet.
"Bagaimana kabar Rahwan?" tanya Pak Saleh. Ia tidak berani mengangkat wajah. Pelan-pelan berpaling memunggungi Mbah Sopet.
Mbah Sopet yang biasanya tanggap dalam menjawab, tiba-tiba saja terdiam. Ada yang harus ia kumpulkan selain keberanian, yaitu penyesalan dan rasa bersalah.
"Dia sudah dibawa menggunakan ambulans."
"Hidup?" tanya Pak Saleh lagi.
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, aku tahu," sahut Pak Saleh.
Pak Saleh melangkah pergi. Bagaimanapun ia berusaha untuk berdiri tegap, langkahnya tetap kelihatan sedikit lunglai.
Meskipun tertutup oleh baju hitam yang robek di sana-sini, serta serban merah yang melilit leher kurusnya, Mbah Sopet bisa melihat betapa banyaknya luka yang didera Pak Saleh. Luka akibat hari ini saja. Tidak termasuk luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.
"Mau ke mana kakeh?"
"Mejemput seseorang."
"Siapa?"
MUSUH TERAKHIR
Darah Mbah Sopet berdesir. Jawaban Pak Saleh terlalu pasti untuk ukuran seorang Salehudin yang plin-plan dan jarang berpikir sebelum bertindak. Musuh terakhir yang Pak Saleh maksud, bisa jadi sama dengan yang Mbah Sopet pikirkan.
"Jangan-jangan...." Mbah Sopet melirik Rodin. "Tidak mungkin. Rodin bukan orang yang akan buka mulut meskipun diancam mati. Kecuali, Saleh berhasil menempeleng otaknya—Kalian, cepat bawa sampah-sampah ini!" Mbah Sopet memberi perintah.
Para santri mengerti sampah mana yang dimaksud. Mereka menggotong Rodin dan Broncong pergi dari tempat pembuangan sampah. Beberapa kali ada yang usil menjitak dan menjejealkan sampah ke mulut Rodin dan Broncong, sekadar pelampiasan dendam yang terlanjur lunas sebelum dibayar.
Pak Saleh sudah semakin tak terlihat ditelan gelapnya pintu masuk tempat pembuangan sampah yang memang minim penerangan. Dengan perasaan gelisah, Mbah Sopet mengeluarkan radio panggilnya.
"Jal, gimana kondisi di sana? Genteh!"
"Positif. Konspirasi daun kering, ternyata benar adanya. Ganti."
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HororBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...