Pesantren Sokogede, Banyusirih
Usai melihat sendiri bagaimana keempat rekannya jadi bulan-bulanan santri hingga tak sadarkan diri, para petugas keamanan pesantren yang lain mulai menyadari bahwa situasinya lebih gawat dari yang mereka kira. Rekan mereka tumbang dengan luka minimal, tampak sekali jika penyerangnya tidak berniat menganiaya, lebih kepada ingin melumpuhkan."Ada yang melihat wajah pelakunya tidak?" tanya seorang petugas yang baru saja datang dari musala di asrama pusat.
"Saya, Kang. Tapi saya merasa asing sama tiga santri tadi. Mereka lebih tua dari bapak saya. Baunya juga lebih apak dari sarung saya," tutur seorang petugas yang jadi saksi. Ia selamat karena melarikan diri.
"Kok sama, ya? Barusan di musala asrama pusat, saya juga bertemu dengan santri bernama Harun. Ciri-cirinya mirip seperti yang kamu sebut. Tua, berewok, mungkin juga apak, saya tidak sempat mencium baunya. Saya sempat pikir dia jin, soalnya si Harun ini tiba-tiba menghilang."
"Perasaan saya tidak enak, Kang. Penyerangan ini seperti sudah direncanakan. Waktunya pas sekali saat pesantren sedang sepi, dan semua santri berkumpul di masjid."
"Maksudmu, ada kemungkinan ini ulah komplotan ninja itu?" sambung salah seorang petugas yang sedang menaikkan teman-temannya yang pingsan ke becak.
"Menurut sampean, Kang?"
Dalam hening yang berlangsung sekitar lima detik itu, asumsi mereka terasa kian pasti, dan kalau memang begitu adanya, mereka hanya perlu mewaspadai satu hal.
"Eh, apa Kiai Fatah dan Kiai Ilyas ada di pesantren?"
***
Aluf membantu abahnya bangun. Benar dugaan Aluf, ada racun di senjata ninja barusan. Pedang itu tergeletak di lantai, diabaikan pemiliknya yang sudah hilang dalam gelap kebun mangga. Aluf ingin mengejarnya, tapi saat ini, Kiai Fatah lebih butuh pertolongan. Bukan seberapa banyak keluarnya darah yang Aluf khawatirkan, tapi seberapa banyak racun yang masuk dan menyebar.
Di mata Aluf, pedang tanggung itu tak lebih dari senjata biasa, tapi bagi Kiai Fatah, pedang itu adalah jawaban. Kemunculannya seolah menjelaskan teka-teki besar yang meskipun jawabannya mampu diraba, teorinya masuk akal, tapi Kiai Fatah menepisnya karena terlalu menakutkan untuk jadi kenyataan. Tangan Kiai Fatah menggapai-gapai, berniat mengambil pedang itu, tapi Aluf menahannya.
"Lupakan dulu, abah harus cepat dibawa ke rumah sakit. Kita belum tahu jenis racun apa yang orang itu pakai. Berharap saja bukan Warangan."
"Bukan," jawab Kiai dengan yakin. "Setidaknya bawa senjata itu. Jangan ditinggal."
"Penting sekali?" Aluf mengeyel.
"Itu pemberian Almarhum Kiai Sepuh," Kiai mengatakannya dengan suara yang mulai serak.
"Pedang jelek begitu?" tanya Aluf, "Ah, baiklah!" katanya lagi, setelah telinganya disentil si abah.
Aluf memungut pedang aneh itu, membungkusnya dengan serban, lalu membawanya ke luar kamar seraya memapah sang abah. Aluf memanggil-manggil abdi ndalem, meminta pertolongan, tapi yang datang hanya seorang santri bersarung, berkopiah miring, berwajah sangar dengan sisa-sisa air wudhu yang mungkin belum habis dipakai salat.
"Eh, cepat ba—"
"CIAAT!"
Santri itu menyerang Aluf tanpa ragu, walau gerakannya kikuk dan kentara sekali jika tak bisa bela diri. Maklum, dia abdi ndalem divisi dapur. Satu-satunya yang pernah ia serang hanyalah daging, ikan dan sayur. Namun, melihat sang Kiai ada dalam bekukan seorang ninja—setidaknya begitu yang ia lihat—ia tidak peduli bela diri. Ini waktunya bela sang Kiai.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
رعبBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...