CHAPTER 48 - CADAR MERAH

16.9K 1.6K 232
                                    

Pesantren Sokogede, Banyusirih.

Pada waktu yang teramat tenang, selepas salat magrib berjamaah, para santri selonjoran santai di serambi masjid . Kepala asrama sedang memimpin hafalan tasrif anak buahnya, juru masak setiap asrama sudah sibuk memilah beras dan sayuran untuk makan malam. Memang ada banyak warung di sekitar pesantren, tapi santri lebih suka masak sendiri. Mereka tidak hanya kenyang, tapi bahagia. Satu asrama, satu keluarga. Satu kekurangan, yang lain melengkapi. Dengan makan bersama, santri yang tidak punya uang karena kiriman dari kampung telat, bisa tetap makan tanpa harus menahan malu karena pinjam uang.

Sokogede punya empat musala dan satu masjid. Empat musala tersebar di empat tempat berbeda yang jaraknya cukup jauh. Santri diwajibkan salat berjamaah di musala yang paling dekat dengan asrama masing-masing, namun, untuk salat magrib dan isya, mereka wajib berjamaah di masjid. Karena itu, setiap magrib menjelang isya, keempat musala selalu sepi. Hanya ada beberapa santri yang salat di musala, itu juga karena terlambat ke masjid akibat antre kamar mandi. Ada juga yang dengan sadarnya nekat merokok di serambi musala, tak peduli di sampingnya ada petugas keamanan pesantren yang sedang patroli.

"Eh, santri baru, ya? Wah, sudah tidak jamaah di masjid, malah merokok," tegur petugas keamanan.

Santri itu tidak peduli. Masih merokok lebih santai dan lebih berasap lagi. Sepintas dia terlihat lebih tua daripada petugas tadi. Berewok yang lebat, yang bahkan menutupi bibirnya, membuat rokok itu seolah terbenam dalam jepitan bulu wajah kasar.

"Oalah gendeng!" si petugas mulai kesal, ia sandangkan serbannya ke pundak, lalu menghampiri si berewok dengan sikap siap menendang pantat. "Nak kanak dimmah been? Mak ngelamak, hah?" (Anak mana kamu? Kok kurang ajar?)

Bukannya menjawab, santri berewok itu malah meniupkan asapnya pada si petugas, lalu tersenyum di balik berewok lebatnya.

"Buh, motak jiah!" (Monyet kamu!) Petugas itu menarik tangan si berewok. "Ayo ikut saya ke kantor. Kamu ini sudah mukanya tua sekali, kelakuannya kaya anak kecil. Makanya bulu ketiak itu jangan ditaruh di muka!"

Santri itu tidak melawan. Ia manut saja digiring ke kantor keamanan seperti maling digiring ke kantor polisi.

"Siapa namamu?" tanya si petugas.

"Harun," jawab si berewok, "Harun Masakin."

Suara orang bernama Harun itu benar-benar terdengar tua sekali. Tidak cocok untuk santri. Memang ada banyak santri yang suaranya sama berat dan kasar, tapi dengan tampilan dan kelakuan seperti itu, Harun jauh lebih cocok jadi petugas keamanan daripada petugas kemanannya sendiri.

Kantor keamanan tidak terlalu jauh dari musala. Mereka sudah sampai di sana tak kurang dari lima menit berjalan kaki, menyusuri area pemandian santri.

"Assalamualaikum," ucap petugas sembari membuka pintu, meskipun ia tahu tidak ada siapa-siapa di ruangan itu.

"Untuk sementara, kamu tunggu di sini sampai pak kepala datang. Biasanya santri seperti kamu harus disel dulu biar jera, abis itu digundul. Ngerti, tidak?"

Baru petugas itu sadari kalau dia sedang bicara sendiri. Santri yang ia giring dari musala tidak lagi kelihatan ujung jenggotnya. Harun Masakin hilang bak ditelan bumi, disembunyikan jin, atau bisa jadi memang Harun Masakin adalah jin.

"Masa yang barusan hantu, sih? Astaghfirullah, kalau sudah begini baru saya sadari wajahnya memang seram, sih."

Tiba-tiba dari kejauhan datang rekan sesama petugas keamanan. Berlari seperti kesetanan sambil menenteng senter di tangan.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang