CHAPTER 23 - SEMUT HITAM

19.3K 1.9K 175
                                    

Lampu sudah dimatikan. Sejak punggungnya terasa sangat gatal, H. Karim terus mencari cara untuk menghindari kepungan. Ia terdesak. Membayangkan akan terbunuh di ruang tamu sendiri, membuat H.Karim merasa geli. Saya malu kalau mati di rumah sendiri; di tangan preman-preman ini. Kalau nanti kematian saya dijadikan cerita, pasti ceritanya tidak akan menarik. 

H. Karim menghindari sebuah belati yang nyaris menusuk ulu hatinya. Gerakan yang tiba-tiba itu membuatnya kehilangan kuda-kuda, hingga serangan kedua tak terelakkan. Ujung celurit merobek lengannya cukup dalam, dan rasa perihnya cukup mengalihkan konsentrasi. Beruntung saat itu posisi H. Karim dekat dengan dinding, dan ada sesuatu di dinding itu yang mungkin bisa mengubah kondisi pertarungan.

Bagus.

Tiba-tiba ruang tamu gelap gulita. Setelah H. Karim mematikan satu-satunya lampu yang masih menyala. Ia berhasil melumpuhkan penglihatan lawan, tapi tanpa sadar H. Karim sudah membutakan dirinya sendiri. Satu-satunya yang membuat H. Karim unggul adalah, ini rumahnya. Ia tahu seluk beluk ruang tamunya.

"Cepat cari saklarnya!"

"Jaga pintu, Jangan biarkan dia kabur!

Kaki-kaki yang melangkah dengan ragu, menyebar ke seluruh rumah. Terdengar suara jari-jemari meraba dinding, dan sesekali suara jempol kaki membentur ujung lemari. Belum lagi mereka saling menyalahkan saat saling bertabrakan atau tanpa sengaja menginjak kaki rekannya.

"Hati-hati!"

"Jangan lengah, dia masih di ruangan ini!" Seru salah seorang yang menjaga di pintu menuju ruang selanjutnya.

Suara jari-jemari di dinding tadi berakhir saat seorang preman berhasil menemukan saklar lampu dan menyalakannya hingga cahaya kembali menyinari ruang tamu.

"Dimana dia?" Kata Preman itu.

"Di belakangmu!" Seru rekan-rekannya melihat H. Karim tersenyum di belakang preman yang baru saja menyalakan lampu.

Tanpa ampun, H. Karim menarik rambut preman itu dan membenturkan kepalanya pada saklar lampu hingga saat preman lain nyaris sampai ke tempatnya, ruang tamu kembali gelap gulita.

"Pengecut! Hadapi kami secara jantan, Karim!"

Oh, saya tidak percaya itu keluar dari mulut orang yang beraninya main keroyokan.

H. Karim bersembunyi di balik sofa. Ia mencoba bersandar tapi terhalang pisau yang menancap di punggungnya. 

Para pembunuh itu kembali menyebar, setelah saklar yang barusan tidak lagi berfungsi karena haji karim membenturkan wajah preman tadi dengan sangat keras. Sepertinya, selain saklar lampu itu, hidung preman tadi pun tidak akan berfungsi dengan baik untu beberapa waktu.

Suara barang pecah belah berjatuhan ke lantai, pertanda salah satu dari preman itu sedang berjalan sambil meraba lemari di ruang tamu. Tiba-tiba sebuah cahaya merah muncul di lantai, dan menyebar ke seluruh ruangan dengan gerakan memutar. Tidak hanya itu, benda yang mengeluarkan cahaya itu bergerak pelan menuju ke tempat persembunyian H. Karim sembari mengeluarkan suara dengan bahasa asing, "Fire! Fire!"

Ya, Ampun Imdad. Anak itu tidak pernah meletakkan robot-robotannya ke tempat semula. 

Cahaya merah itu memantulkan bayangan H. Karim yang terlihat sedang geleng-geleng kepala.

"Di sana! Di balik kursi itu."

Gemuruh langkah kaki mendekati tempat persembunyian H. Karim, memaksa kakek itu meninggalkan benteng kursinya. Ia mendorong kursi panjang tadi hingga menabrak lawannya. Tidak jelas berapa yang kena, H. Karim memanfaatkan kursi tadi sebagai pijakan untuk lolos dari kepungan.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang