Usai pertarungan yang cenderung tak seimbang itu, datanglah lima orang berpakaian seperti santri, tapi berwajah seperti preman. Salah satunya adalah Harun. Dari arah yang berbeda, datang pula seorang berpakaian hitam dan berkedok layaknya ninja. Mereka berkumpul di tempat yang sama seolah sudah disepakati sebelumnya.
"Kau membunuhnya?" tanya si topeng hitam sambil menunjuk Ki Rahwan yang lemas di tanah.
"Sepertinya begitu," jawab Rodin.
"Lalu bagaimana dengan Kiai Ilyas?"
"Dia kabur," jawab Rodin datar.
Rupanya jawaban itu membuat orang bertopeng hitam marah. Ia mendekat, menunjuk-nujuk dada Rodin dengan kasar. Melihat gelagat teman-temannya yang lain, sepertinya hanya si topeng hitam saja yang tidak takut dengan Rodin.
"Aku hampir mati gara-gara Kiai Fatah, tapi aku tetap menyelesaikan tugasku, lalu kau ... dengan entengnya kau bilang kalau Kiai Ilyas kabur," sergah si topeng hitam.
Rodin mengambil telunjuk yang menurutnya sangat tidak sopan itu.
"Kau lakukan itu lagi, aku patahkan semua jari-jarimu," ancam Rodin. Kemudian, pandangan Rodin beralih pada rekan-rekannya yang lain. "Dengar, sepertinya rencana kita sudah diantisipasi oleh Karmapala. Orang ini," Rodin menunjuk Ki Rahwab, "Dia adalah salah satunya. Kalau sampai yang lain datang, akan sangat merepotkan. Jadi, malam ini operasi kita cukupkan dulu. Yang terpenting, kita sudah dapat Kiai Fatah," Rodin menoleh dengan tatapan ragu pada si topeng hitam, "Itu juga kalau tengik ini benar-benar menghabisinya."
"Tidak ingin dengar itu dari orang yang tak bisa menyelesaikan tugasnya," balas si topeng hitam. "Racun itu akan menyebar dengan cepat. Kiai Fatah tak akan selamat. Sialnya, aku tidak sempat membawa pulang pedang itu. Padahal itu barang yang bagus."
"Lupakan saja!" kata Rodin, "Sekarang kita pergi."
Harun yang sejak tadi penasaran dengan Rahwan bertanya, "Terus orang ini mau diapain?"
"Oh, tinggalkan saja. Dia sudah mati," jawab Rodin.
Ucapan Rodin itu memantik amarah seseorang di balik pohon mangga. Seseorang yang kepalan tangannya bergetar hebat, amarahnya memuncak, dan sudah siap melangkah ke luar untuk menghabisi tujuh orang sendirian. Orang itu adalah Aluf, dan saat ini, dia benar-benar kalap. Aluf sudah menggenggam senjata yang harusnya ia sembunyikan. Pedang patah beracun yang sudah melukai abahnya. Aluf tahu ia tak akan punya kesempatan menang melawan satu di antara orang itu, apalagi tujuh sekaligus. Namun, ketika mereka menendang wajah Ki Rahwan hanya sekadar memastikan masih hidup atau tidak, Aluf tak peduli lagi dengan mati.
"Sialan!"
Pundak Aluf tertahan. Seseorang mengembalikan Aluf ke dalam bayang-bayang pohon, lalu membekab mulut Aluf demi menghalanginya berteriak.
"Kamu cari mati, bodoh!" desis Fatah, sambil perlahan menurunkan tangannya.
"Ngapain kamu di sini?" bisik Aluf.
"Nasi bungkus Kiai Fatah ketinggalan sehabis tahlilan barusan, jadi aku ke sini untuk mengantarkan. Tidak sengaja melihatmu mengendap-endap. Kukira ninja—"
"—baiklah, diam!" tukas Aluf.
Kawanan itu bubar, tanpa Aluf sempat berbuat apa-apa. Begitu situasi dirasa aman, Aluf dan Fatah segera menghampiri Ki Rahwan.
Orang tua itu tampak memprihatinkan. Wajahnya dilumuri merah gelap merata. Aluf yang punya dasar ilmu pengobatan bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.
"Ki Rahwan." Aluf mencoba menjemput sisa-sisa kesadaran Ki Rahwan, jika memang masih ada.
Ia memeriksa luka-luka di sekujur tubuh kakek itu. Pinggangnya berwarna ungu, lengan dan tangannya penuh ruam.
"Aku harus bagaimana?" isak Aluf.
Fatah memeriksa denyut nadi Ki Rahwan, dan dia tahu betul apa yang harus Aluf lakukan.
"Ki Rahwan, bangun bangsat!" Aluf mengguncang tubuh Ki Rahwan.
"Aluf, sudah. Kamu tahu persis apa yang sudah terjadi." Kata Fatah.
Tedengar derap langkah orang mendekat. Empat orang santri langsung mengerumuni Aluf, Fatah, dan Ki Rahwan. Mereka datang setelah mendengar apa yang terjadi dari Kiai Ilyas. Namun, semua sudah terlambat. Benar-benar terlambat.
***
Harun lari paling belakang. Ia mengikuti teman-temannya menyusuri parit yang mengalir dari tempat mandi santri, menuju tempat pembuangan sampah raksasa. Di sekitar situ gelap. Mereka sudah merencanakan dengan matang rute untuk melarikan diri.
Tiba-tiba radio panggil Harun berbunyi. Harun menerimanya. Ia diam sejenak untuk memastikan saluran itu terhubung ke orang yang benar.
Eksekusi Tapal Kuda, Sektor 3, ucap seseorang di ujung radio.
Diyakinkan oleh kata kunci tersebut, Harun membalas panggilan itu, "Diterima, ganti!"
Posisi? Kondisi?
"Ke luar dari Sokogede, menuju tempat pembuangan sampah pesantren. Sektor 1 Kuda hitam selesai, kuda putih lolos, ganti."
Sektor 3, kuda hitam selesai, ganti.
"Maksudmu? Ganti." Dahi Harun mengkerut mendengar laporan yang menurutnya tak masuk akal.
Ya, selesai, gendeng! Ganti
Percakapan itu berakhir. Harun memasukkan kembali radionya sambil mengomel.
***
Pak Saleh mengambil kembali tasnya yang sempat ia letakkan di tanah, kemudian ia selempangkan di lengan kiri, pertanda siap melanjutkan perjalanan. Ia sedikit mabuk setelah menempuh satu setengah jam perjalanan dengan bus, tapi sekarang mabuknya hilang direbus amarah.
"Tempat pembuangan sampah pesantren," gumamnya sembari membuang radio panggil hasil sitaannya dari ninja yang ia buat babak belur di rumahnya kemarin.
Pak Saleh bersiap memasuki arena. Ia sengaja lewat jalan berbeda dengan menyusuri pematang sawah, karena jalan utama ke desa Sokogede dijaga ketat, dan Pak Saleh tidak mau ada orang yang melihatnya. Lagipula, suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Tidak hanya itu, dari arah desa, Pak Saleh bisa melihat nyala jingga dan kepulan asap.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...