CHAPTER 40 - PEMIMPIN

16.6K 1.7K 133
                                    

PEMAKAMAN SOKOGEDE

Kabar meninggalnya Haji Karim sudah tersebar ke penjuru desa. Menjangkau telinga para keluarga, sahabat, murid, rekan, bahkan orang asing yang sekedar pernah dengar namanya saja. Walau demikian, pemakaman tidak terlalu ramai. Haji Karim dimakamkan di pemakaman khusus keluarga pesantren yang aksesnya terbatas. Tidak sembarang orang boleh masuk. Terutama setelah isu pembongkaran makam yang sempat merebak beberapa hari lalu.

Sekitar dua puluh orang mengantar kepergian Haji Karim pagi itu. Diantaranya adalah Kiai Fatah dan beberapa tokoh penting Banyusirih. Sayu mereka tatap pemakaman itu. Saat jenazah sudah tertutup dinding kayu, saat itulah Fatah dan keluarganya sadar, Haji Karim tidak akan terlihat lagi di rumah. Asbak perunggu di meja tidak akan lagi terisi abu. Kursi kayu di halaman belakang tidak lagi bergoyang. Sepeda butut itu tidak akan pernah lagi kemana-mana. Rumah Fatah akan terasa jauh berbeda, dan butuh waktu lama untuk bisa terbiasa.

Berdiri di samping Fatah, Kiai Fatah menyapa. Kendati sudah hampir tiga puluh menit di pemakaman, Kiai belum jua menemukan kata-kata yang pantas untuk diucapkannya pada Fatah.

"Sungguh saya bingung harus bicara apa sama, Kamu. Tidak tahu kata-kata yang tepat untuk menghibur. Kepergian Karim adalah duka saya juga, hingga saya merasa harusnya saya yang dihibur," ujar Kiai.

"Mungkin sebaiknya kita diam saja, Kiai. Abah endak suka diomongin," sahut fatah, tersenyum membendung lara. Suaranya masih sama seperti ketika dia adzan barusan. Serak. Naik turun senada emosinya.

"Ya. Sebaiknya memang begitu. Kamu dan Karim punya sifat berbeda. Karim sangat mirip dengan Salehudin muda, sementara kamu mirip dengan Salehudin tua. Saya masih ingat ketika Karim menantang saya berkelahi, dia ...." Kiai Fatah menutup mata kirinya, seperti menahan sesuatu yang hendak mengalir.  "Dia kalah telak. Tapi dengan lantangnya berkata, 'Saya akan menamai anak saya Abdul Fatah. Biar kalau dia nakal, saya bisa memarahi dan menjewernya seolah-olah saya menjewer Sampean!' Ah, dasar!"  Sampai di sini, air mata Kiai Fatah benar-benar mengalir.

"Abah sangat menghormati Sampean, Kiai. Sampean adalah guru sekaligus kakak bagi Abah." sahut Fatah, menyusul tangis Kiai.

"Ya, itu karena kakekmu tidak mau mengajari Karim. Akhirnya dia selalu mengikuti saya setiap pulang sekolah. Benar-benar berandal. Ngomong-ngomong, kemana mereka?"

"Siapa?"

"Karmapala. Bahkan Kang Saleh tidak ada."

"Mereka ikut memandikan jenazah Abah tadi," sahut Fatah, "Kalau kakek, ada sesuatu yang harus beliau lakukan. Tidak bilang apa, tapi sepertinya penting sekali sampai harus melewatkan pemakaman Abah."

Kiai Fatah berdecak. "Mereka tidak akan bertemu dengan Karim lagi. Harusnya ini jadi momen perpisahan mereka," keluh Kiai.

Fatah mengangguk setuju. "Kakek harus menyelesaikan masalah ini dulu agar tidak malu berkunjung ke makam Karim," Fatah menoleh pada Kiai, "Begitu kata Kakek, sebelum pergi dini hari tadi."

Kiai Fatah tercenung. "Kenapa firasat saya tidak enak, ya?  Lihat, orang yang datang ke pemakaman ini tidak banyak. Mereka sudah lelah karena hampir setiap hari menguburkan jenazah saudara, kerabat atau tetangga. Nama siapapun yang diumumkan di masjid, mereka sudah tidak kaget lagi."

Kening Fatah mengkerut. "Terus, hubungannya dengan Karmapala apa, Kiai?" tanyanya.

"Mereka bukan pahlawan, dan tidak seharusnya bertindak seperti itu. Di masa dimana mati adalah biasa, napas-napas usang seperti mereka hanya akan terpahat di nisan, tidak dihati orang-orang." Kiai megembus napas, melepaskan sedikit kekhawatirannya.

Ingin rasanya bertindak bodoh seperti kalian, tapi kalau semua orang tua di negeri ini bodoh, masa depan akan dipenuhi oleh generasi komedi; komedi yang tidak lucu. Ya, Allah, semoga mereka baik-baik saja. Sisakan sedikit kemanusiaan di hati-hati renta itu, untuk kelak dikuburkan utuh bersama jasad keriputnya.

Usai sudah acara pemakaman Haji Karim. Benar seperti Dawuh  Kiai Fatah, orang-orang sudah lelah. Kalau saja Haji Karim meninggal dua atau tiga hari berikutnya, mungkin yang datang akan lebih sedikit dari ini. Nurina, dan Bu Maisarah masih menyisakan tangisnya untuk ditumpahkan kembali di rumah nanti. Mereka bersiap meninggalkan makam, menatap peristirahatan Haji Karim untuk terkahir kalinya.

"Ayo, Nail! Kamu tidak mau pulang?" tegur Nurina, melihat Nail mematung.

"Umi, orang-orang itu tidak mau pulang juga?"

"Orang-orang siapa? Mereka sudah bubar lebih dulu."

"Itu, mereka masih di sana, di sekeliling makam Kakek."

"Sudahlah! Umi sedang tidak ingin bercanda."

Nurina menarik tangan Nail, sembari menggendong Imdad yang sejak tadi murung. Si kecil tidak menangis, seperti belum paham betul konsep kematian. Namun, untuk pertama kalinya sejak di pemakaman, Imdad mulai bicara.

"Kakek endak ikut pulang juga ya, Mi? Katanya, kakek mau lihat Imdad jadi orang. Kakek juga janji mau beliin gim bot baru kalau gigi imdad yang ini sudah copot.  Terus, kalau kakek endak pulang, yang nganterin Imdad sekolah siapa?"

Pertanyaan itu tidak harus di jawab. Sekeras apapun Nurina berusaha tegar, ungkapan kehilangan dari seorang anak yang polos seperti Imdad sudah menghancurkan hatinya. Baru ia ingat, betapa dekatnya Haji Karim dengan kedua cucunya. Hanya pada Nail dan Imdad saja Haji Karim tidak menunjukkan sisi kerasnya.

"Besok kita ke sini lagi, ya, Nak. Kita sering-sering jenguk kakek, biar enggak kesepian. Sekarang biarkan kakek istirahat. Kakek pasti lelah," sahut Nurina, mati-matian menahan tangisnya.

"Abah dan Kakekmu memang tidak pernah akur. Dia keras kepala, sebelum akhirnya lembek dan kosong. Dia beringas, sebelum jadi lembut seperti anak-anak. Menceritakan tentang bagaimana Salehudin membesarkan Abah, malah membuat dia terlihat seperti orang tua yang buruk. Namun, satu hal yang abah tahu. Salehudin adalah orang yang cengeng. Dia bisa menangis dan mengamuk seperti anak kecil yang dirampas mainannya. Jadi, pastikan Kakek kalian tidak merasa kehilangan, atau kalian akan kerepotan menenangkannya."

Fatah mengingat nasehat Abahnya.

Lihat! Sekarang Abah justru membuat kami kerepotan. Kakek menghilang entah kemana, dan kami tidak ada waktu menenangkan dukanya karena duka kami sendiri belum sembuh.  Gumam Fatah.

Tiba di gerbang pesantren dengan kepala tertunduk. Keluarga Fatah dikejutkan oleh keramaian santri yang sudah menunggu di depan gerbang, berbaris rapi dan berseragam. Beberapa wajah terlihat familiar. Mereka adalah murid-murid haji Karim di Pesantren Lindung, lalu ada sekelompok petani, tukang becak, semua sahabat Almarhum dari beragam golongan. Fatah tergegun. Dia tidak tahu bagaimana harus menyikapi sambutan itu.

"Karim memang bukan Kiai. Dia tidak punya banyak santri. Namun, Karim adalah orang baik. Dia punya banyak sahabat," bisik Kiai Fatah, pada putra Haji Karim yang tengah berderai air mata.

"Maaf Lek Fatah, demi alasan keamanan, kami tidak diijinkan masuk oleh satpam pesantren. Jadilah kami menunggu di sini. Tapi kami tetap akan pergi, walaupun harus mengantri."

"Haji Karim sudah banyak berjasa untuk keluarga saya. Entah dianggap atau tidak, almarhum sudah seperti kakak saya sendiri."

Ungkapan serupa diserukan juga oleh yang lain. Satpam pesantren sampai harus meminta maaf pada Fatah, agar Fatah tidak salah paham. Bukan niat melarang, tapi Astah Pesantren tidak akan muat menampung pengunjung sebanyak ini.

"Terima kasih. Maafkan kesalahan Abah saya. Kalau Almarhum punya hutang, tagihlah saya. Kalau Almarhum menyisakan dendam, selesaikan sama saya." Isak Fatah, bergantian memeluk para simpatisan.

Haru biru di gerbang pesantren. Barisan belasungkawa itu bubar, membawa duka dan sebuah pelajaran. Di Tapal Kuda, setiap hari, satu orang baik mati.  Setiap hari juga, sepuluh orang jahat lahir dari fitnah, kebencian, dan rapuhnya tenggang rasa. 1998 masih separuh jalan. Penasaran, tapi Rakyat enggan bertanya ... kemanakah pemimpin?

WARNING, CHAPTER BERIKUTNYA BERISI IKLAN.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang