CHAPTER 16 - SALING SILANG

19.6K 2K 215
                                    

Desa Sumbergede, Pendopo Dhalem Kiai Fatah.

"Sampean dapat tanda seperti itu, tapi dari tadi diam saja?"

"Bhe, Saleh. Harusnya Kakeh bilang dari tadi. Nyawa Kakeh terancam bahaya, Leh!"

"Bisa tidak, sekali saja Kak Tuan tidak bikin kejutan!"

"Sudah, ini memang darurat. Tapi Pak Saleh ada di sini bersama kita, dan saya berani bertaruh setangguh apapun orang yang disebut Ninja ini, meraka tidak akan berani masuk ke pondok pesantren."

Kiai Ilyas menutup perdebatan panjang yang dibuka oleh pengakuan mengejutkan dari Pak Saleh. Sementara itu, Kiai Fatah sedang berbincang serius dengan dua orang santrinya. Setelah tahu bahwa Pak Saleh jadi target pembunuhan, Kiai Fatah mengerahkan lima orang muridnya untuk segera pergi ke rumah Pak Saleh.

"Lima orang dari kalian sudah cukup. Sekarang Kami sedang mempersiapkan sesuatu. Nanti kami pasti menyusul. Ingat, saya memang ingin orang itu ditangkap hidup-hidup, tapi kalau keadaan mendesak kalian, lari! Jangan korbankan nyawa kalian."

"Enggeh, Kiai."

"Tidak ada jaminan Ninja itu akan muncul setiap kali meninggalkan tanda, tapi kalian jangan lengah. Tetap waspada, terutama karena rumah Pak Saleh ada di tempat yang jauh dari pemukiman warga."

"Enggeh, Kiai."

NGANU

Tiba-tiba Pak Saleh menyela percakapan itu.

"Saya lupa bilang. Tadi sore Ning Aluf datang ke rumah membawakan saya obat, setelah itu saya tinggal pergi. Kemungkinan beliau masih di sana, soalnya sepedanya saya bawa ke sini, hahaha." Dan Pak Saleh pun kembali membuat kejutan.

"Dengar! Saya ralat apa yang saya katakan tadi. Kalian bawa sepuluh orang lagi ke sana, dan jangan pulang sebelum bertemu dengan Aluf, mengerti?"

"Enggeh Kiai."

Pendopo kembali gaduh. Baik H. Karim dan sahabat-sahabat Pak Saleh sendiri tidak tahan lagi dengan keteledoran kakek berkuncir itu. Hanya Kiai Ilyas dan Kiai Fatah yang masih bersikap tenang. Bukan mereka tidak panik, terutama Kiai Fatah yang tidak bisa menutup kegelisahannya. Tapi, jika mereka berdua ikut gaduh, siapa yang akan menenangkan enam orang kakek dan seekor monyet itu.

"Kiai, jenengan tidak ikut menyusul?" Tanya H. Karim. Ia menyadari bahwa pikiran Kiai Fatah sedang tidak pada rapat itu.

"Saya percaya pada murid-murid saya. Lagipula, Aluf tidak bodoh. walau keras kepala, anak itu tetap akan kabur jika situasi sedang tidak berpihak padanya."

"Hei, Saleh! Apa masih ada yang Kakeh sembunyikan?" Tanya Bah Sopet.

Pak saleh geleng-geleng kepala dengan mantap.

"Oh ya, Haji Karim. Tentang orang-orang Banyusirih yang sampean temui di Gandrung itu, Sampean bilang mereka membawa sebuah catatan berisi daftar nama?" Tany Kiai Ilyas.

"Benar, Kiai." H. Karim memberikan secarik kertas pada Kiai Ilyas.

"Tunggu dulu, memang apa yang terjadi di Gandrung?" Tanya Gusafar.

H. Karim dan Ki Rahwan menceritakan semua pengalaman mereka dengan detil. Termasuk yang terjadi setelah keempat preman itu berhasil mereka lumpuhkan.

"Bhe, Kakeh mau bilang, kalau yang membunuh Kiai Sahrul adalah orang dari kecamatan kita? Ye tah?"

"Tidak lantas seperti itu, Kang Sopet. Empat orang yang saya ceritakan tadi tidak punya bekal ilmu beladiri yang mumpuni. Saya sangat yakin bukan mereka pelakunya. Bahkan dengan empat orang sekalipun, walau usia Kiai Sahrul sudah sepuh, saya bertaruh beliau masih tidak segampang itu dikalahkan."

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang