TUJUAN KEEMPAT, ANTAH-BERANTAH
Rumah kecil dengan halaman luas. Dibangun di tengah kebun kelapa milik pesantren. Kayu-kayu menumpuk di kanan rumah, lalu kandang sapi di sebelah kiri. Lampu minyak belum mati, karena ini masih terlalu pagi. Matahari masih kalah tinggi dari pohon kelapa, tapi di atas tumpukan kayu tadi, sudah ada anak kecil sedang mengunyah tebu. Anak itu usianya sekitar enam sampai tujuh tahun. Dia menatap kehadiran enam orang dewasa di depan rumahnya dengan tidak ramah. Benar-benar tidak ramah. Ampas tebu itu dilemparnya ke depan para tamu, sambil berseru, "Hus!"
"Anak ini perlu diberi pelajaran," Gusafar maju, tangannya siap mencakar bocah pemakan tebu. Tetiba langkah Gusafar berat. "Lepaskan!" Serunya.
Umar dan Maksum menahan kedua lengan Gusafar dari belakang, sementara Jalu mendorong dari depan. "Jangan gendeng!" tegas Jalu.
"Ini rumah Salehudin?" tanya Sopet.
"Entahlah. Bisa dibilang ini tempat persembunyiannya. Rumah aslinya ada di selatan, di samping hutan Sumbergede," tutur Jalu.
Sembunyi? Dari siapa? Sopet terheran-heran.
"Assalamualaikum, Kang Musa ada?" Jalu menyapa anak itu, tapi dia tidak menjawab.
Anak itu berdiri. Wajahnya benar-benar tidak bersahabat. Seperti benci sekali dapat tamu pagi-pagi. Dia hendak melompat dari tumpukan kayu, tapi terpeleset dan tumpukan kayu itu pun longsor. Menggelinding. Anak itu terduduk dengan sangat lucu. Keenam tamunya tak bisa menahan tawa.
DEBUM
Buah kelapa jatuh di depan Gusafar. Membekas lobang kecil, disiram air kelapa, mengucur dari dalam melalui celah cangkang yang retak. Belum sempat Gusafar melihat ke atas, tiga buah sudah menghunjam para tamu. Nyaris memecahkan kepala-kepala separuh kosong itu. Seperti meriam dari langit. Buah itu berjatuhan dan membuat para tamu kocar-kacir. Ada sekitar enam buah diluncurkan, dan sekarang sudah di dasar dengan separuh terbenam.
"Woy!" Hardik Jalu bengis. "Eh?" pekik Jalu lemas, ketika dia tahu siapa yang ada di atas.
"Monyet?" celetuk Gusafar.
"Monyet gigimu!" Desis Jalu panik.
Orang di atas duduk dengan santai. Pohon itu tinggi sekali, tapi sikapnya seolah duduk di kursi goyang. Di tangan orang itu masih ada sebuah kelapa lagi. Dari mata yang tajam itu, sepertinya sedang berpikir kemana akan membidik.
"A--Assalamualai--Kum!" Jalu mengakhiri salamnya seperti perempuan melihat tikus sedang menggendong kecoa. Jalu melompat ke belakang karena kelapa terakhir dilemparkan ke arah mukanya. Bukan main-main, orang itu benar-benar berniat membunuh Jalu andai saja Jalu tidak menghindar. Sekarang, Jalu sudah berlindung di balik si kembar.
"Kang Musa--"
"--Kami dari pesantren--"
"--Nganu--"
"--Nganu."
Umar dan Maksum putus koneksi.
Orang itu adalah Salehudin. Selama ini Gusafar dan Sunan hanya mendengar namanya saja. Sekarang mereka bisa melihatnya secara langsung. Sopet, Sunan, dan Gusafar sudah siaga. Orang itu menuruni pohon kelapa seolah-olah itu terlihat mudah. Satu meter sebelum dasar, orang itu melompat dan mendarat dengan kedua kaki menapak sempurna. Salehudin berdiri, dan langsung jadi orang yang paling tinggi di tempat itu. Tubuhnya kurus, tapi berotot. Dia mengenakan kemeja hitam dengan dada terbuka. Rambutnya panjang sampai bahu, hitam senada dengan jenggot tipisnya. Konon, sejak lahir dia tidak pernah tersenyum. Bahkan saat bapaknya mengajak bermain ci-luk-ba, Salehudin justru marah dan mencolok mata bapaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...