Salehudin dalam pelarian. Jauh dari rumah. Dikejar dan diburu banyak orang karena dianggap lancang, bahkan jadi incaran pembunuh bayaran. Meskipun setiap pembunuh bayaran yang diutus, tak pernah pulang lagi membawa kabar untuk tuannya. Pelarian itu mengantarkan Salehudin ke tempat ini, sekarang, berhadapan dengan seseorang yang akan memutus rangkaian pelarian.
Syahrul Ibad namanya. Putra seorang Kiai di pesantren, di kabupaten Gandrung. Salehudin dan Syahrul bertemu untuk pertama kalinya, dalam situasi yang mengharuskan mereka untuk saling membenci, mungkin juga saling melukai, atau membunuh? Salehudin akan menentukan itu nanti. Orang bernama Syahrul yang sedang dia hadapi ini terkenal amat sakti. Pernah berkali-kali lolos dari mati, dan sangat ditakuti di dunia hitam kota Gandrung sekalipun. Namun, itu hanya katanya. Salehudin menilai kekuatan seseorang berdasarkan tinju, bukan telinga. Saat inilah waktu yang tepat untuk membuktikan.
"Assalamualaikum," ucap Syahrul.
Salam itu disapu angin. Salehudin tak berniat menjawab. Guru di madrasah bilang, salam yang tidak dijawab, akan membuat malaikat kaget. Salehudin harus minta maaf pada malaikat itu.
"Sepertinya, pertemuan kita di sini sudah ditakdirkan, dan sepertinya bukan sebagai teman." Syahrul tersenyum, mencoba ramah, tapi tidak terlihat begitu.
Mereka hanya berdua di sebuah halaman rumah yang kosong dari manusia, tapi penuh oleh tanaman rambat yang menyembul ke luar jendela dan lubang udara. Tempat itu cukup jauh dari pesantren Syahrul, ia selalu mendatanginya untuk berlatih, bertapa, dan belajar. Tak pernah Syahrul bayangkan akan kedatangan seorang tamu di tempat itu. Atau lebih tepatnya lawan.
"Jadi, dari mana kita harus mulai?" tanya Syahrul.
"Tidak perlu," akhirnya Salehudin bicara, "Karena ini sudah selesai."
Jarak mereka cukup jauh untuk sebuah pertarungan jarak dekat. Salehudin melangkah lebih dulu, disusul Syahrul kemudian. Salehudin mengikat rambut panjangnya ke belakang, Syahrul melepas kopiahnya. Langkah mereka semakin cepat, lalu kemudian berlari menyerang.
Tinju mereka saling bertemu, tepat di titik yang sama. Keduanya sedikit terdorong ke belakang. Anggaplah itu salam perkenalan. Sekarang, masing-masing dari mereka sudah tahu kekuatan lawan.
Pertarungan itu berlangsung cukup lama. Dimulai saat matahari masih sejajar pohon kelapa, berakhir saat malam memadamkan terik. Dan hasilnya, yang terkapar di tanah saat itu adalah Salehudin, dengan sebuah golok menancap di perutnya.
"Kau jauh-jauh ke sini untuk kalah?"
"Aku ke sini untuk menang, atau mati," tukas Salehudin. Sekujur tubuhnya terasa ngilu dan perih. Ia menerima terlalu banyak pukulan, sementara ia tahu kalau Syahrul bukanlah orang sembarangan.
"Aku tidak mau membunuhmu!" tegas Syahrul
"Tentu saja, karena kau tidak bisa melakukannya!"
Syahrul jongkok di samping Salehudin yang terlentang dan hanya bisa menggerakkan mulutnya. Ia mencabut golok yang menancap di perut Salehudin, dan membuangnya ke semak-semak. Pakaian mereka sama-sama compang-camping, wajah mereka sama-sama kotor dan sedikit lebam, yang membedakan hanyalah Syahrul masih bisa berdiri, sementara Salehudin tidak.
"Kenapa kamu sesumbar begitu?" tanya Syahrul. "Sombong itu tanda kelemahan, Leh!"
"BERISIK! Justru kau yang sombong. Mentang-mentang anak Kiai, kau pikir bisa mendapatkan apapun yang kamu mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...