Desa Lindung, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Menuju Desa Lindung, berarti harus melewati satu kilometer jalan sepi yang diapit dua ladang tebu. Sore hari mungkin terlihat sangat menawan, tapi malam hari beda ceritanya. Saat musimnya datang, tebu-tebu yang sudah dipanen akan dibakar lalu menyisakan tanah lapang yang luas dimana gundukan tanah berserakan. Di malam hari, angin menari-nari dengan menakutkan. Lampu jalan yang berdiri setiap beberapa meter pun tidak bisa mengurangi kengerian.
Hanya seorang pedagang sapu lidi, yang malam itu nekat berjalan kaki melewati daerah tersebut. Punggunya sedikit bungkuk karena membawa dagangan, yang jumlahnya tidak berubah seperti saat ia berangkat tadi siang.
Dari kejauhan, beberapa cahaya mulai terlihat. Cahaya itu berbaris memenuhi jalan, dan mendekat dengan kecepatan yang seragam. Mobil ataupun kendaraan bermotor tidaklah selambat itu. Si pedagang mulai bertanya-tanya, Apakah itu rombongan pengantar jenazah? Tapi mau dikubur kemana? Di selatan kan tidak ada pemakaman.
Barisan cahaya itu semakin mendekat, semakin jelas wajah-wajah manusia yang sedang berjalan kaki membawa obor. Mereka memenuhi jalan hingga tidak ada celah bagi sepeda motor untuk lewat. Jarak si pedagang dan rombongan itu semakin dekat, tapi belum ada tanda-tanda ia akan diberi jalan. Akhirnya, Si pedagang meletakkan dagangannya di pinggir jalan lalu turun ke parit di samping ladang tebu.
"Astaghfirullah."
Sekarang jelas. Ini masih terlalu dini untuk lomba takbir keliling desa. Rombongan itu bukanlah pengantar jenazah seperti yang si pedagang pikirkan, melainkan arak-arakan manusia yang sedang menyeret tubuh seseorang.
"Apa sih ini?" Kata salah seorang dari rombongan itu. Ia membuang sapu lidi yang belum laku, karena barang milik si pedagang dianggap mengganggu jalan.
Sedikitpun, si pedagang tidak merasa kesal. Pandangannya sudah disita oleh pemandangan luar biasa kejam yang saat ini lewat di depan matanya. Seorang pria tengah diikat dengan rantai mengelilingi leher dan tubuhnya. Pria itu mengenakan sarung dan sedang tertatih mengimbangi kecepatan rombongan walau kakinya sudah tidak mampu berjalan. Si pedagang mencoba menebak-nebak siapa pria yang sedang disiksa itu, tapi darah di wajah pria itu sudah merata, belum lagi sebagian besar kulit di wajahnya terlihat mengelupas.
Si pedagang tidak berani bertanya. Sebagai warga desa Lindung, ia tidak mengenal satupun dari mereka. Akhirnya, lupakan rasa kemanusiaan. Si pedagang justru bersyukur orang-orang kejam itu tidak memperhatikan kehadirannya.
Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.
Kerusuhan yang terjadi di Sumbergede, Lindung, dan kabarnya hampir di seluruh penjuru Banyusirih, secara cepat sampai ke telinga warga Leduk. Menurut pengakun seorang nelayan, saat dirinya pulang dari pelelangan ikan di Kalakan, ia melihat sebuah rumah tengah dibakar oleh warga. Menurutnya, aksi itu dilakukan dengan sengaja dan terang-terangan karena rumah tersebut berada di pinggir jalan. Belum lagi, walau pemilik rumahnya berteriak meminta pertolongan, tapi tidak satupun warga yang mau mengulurkan tangan.
"Apakah ini ada hubungannya dengan pesan ancaman yang diterima Nyai Ani tadi?" Saripudin menebak-nebak. Selepas tahlil tadi, Ia dan beberapa orang warga belum pulang dari rumah Ustad Edo. Mereka memutuskan untuk bermalam di sana, setelah mendengar cerita Nyai Ani tentang batu dan kertas berisi ancaman kepada sang ustad.
"Di Lindung juga sedang terjadi kerusuhan. Mufin mendengarnya dari obroloan tukang becak, saat ia dalam perjalanan pulang membeli solar." Ujar Man Rusli.
"Tidak salah lagi. Ancaman itu bukan hanya untuk Edo seorang. Saya yakin, hari ini ada banyak warga Banyusirih yang rumahnya dilempari batu." Anto menanggapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
KorkuBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...