Desa Gentengan, Kecamatan Raga.
Pria bermata satu menjilati mulut botol plastik, seolah setiap tetes terakhir tuak sangat berarti baginya. Keenam rekannya sudah teler. Ada yang masih sadar, tapi menceracau tak jelas, tertawa tak jelas, karena memang tak ada yang lucu. Masih tersisa sepotong ayam, dan beberapa ekor ikan, kentang, serta kacang rebus yang dikupas tapi tak habis dimakan. Kentara sekali jika mereka sengaja menyisakan ruang di perut lebih banyak untuk tuak dan lebih sedikit untuk makanan. Lebih baik lapar daripada tak mabuk sehari saja.
Ruangan itu jadi terasa penuh oleh kesia-siaan. Makanan yang sia-sia, pesta yang sia-sia, waktu yang sia-sia pula. Si mata satu melirik jam dinding yang ada di lantai. Ia tampar pipi kanan, karena jam dinding di lantai adalah pemandangan yang lebih cocok dilihat dari mata orang mabuk. Namun, ia sedang sadar. Perih di pipinya dengan cepat menjalar. Pesta siang itu terlalu meriah, mungkin, sampai dinding bergetar dan menjatuhkan jam bundar bergambar pohon beringin itu ke lantai. Kacanya pecah, tapi waktunya akurat. Si mata satu mendelik melihat jarum jam berada di pukul empat sore.
"Oh, tidak. Bangun! Semuanya bangun!" serunya gelapan.
Ia lakukan segala cara yang terpikir oleh otak separuh sedengnya. Memukul kepala, mengguncangkan tubuh, menarik telinga, menjambak rambut, tapi tak satu pun rekannya yang bangun. Yang sejak tadi tertawa justru semakin mengakak saat disiram air. Si mata satu kebingungan. Ia meraba-raba kantong baju dan celananya, mencari kunci yang harusnya ada di sana.
"Woi, kalian dengar tidak? Ini sudah jam empat sore, sudah waktunya berangkat. Cepat bangun!"
Si mata satu menarik meja kayu panjang tempat jamuan pesta, yang berubah jadi tempat tidur peserta pesta, membuat segala yang ada di permukaannya jatuh, termasuk kepala dan kaki-kaki yang semula nyaman bersandar. Ruangan yang semula sepi, kini gaduh oleh suara mengaduh.
"Yang bener aja, kamu!" protes seseorang yang pipinya menghitam karena noda kecap, pada si mata satu yang masih kelimpungan mencari kunci.
"Ah, ketemu!" wajah si mata satu melega kala memungut kunci yang ada di antara genangan air. Melihat rekan-rekannya sedang mengumpulkan sukma, ia memutuskan untuk tidak menunggu. "Dengar, aku mau ke luar dulu. Sementara itu, kalian harus bersiap-siap. Begitu aku kembali, kita langsung berangkat. PAHAM?"
Kor paham terdengar terpaksa, letih, dan sedikit mengejek.
Sebelum ke luar, si mata satu melirik tawanannya. Pak Saleh sedang tidur, atau pingsan. Tak jelas karena wajahnya menunduk, tersamarkan oleh rambut putih kusamnya yang lepek, terurai dengan sedikit noda merah.
"Pastikan kakek itu masih hidup, atau kita dalam masalah. Sialan. Kita menyiksanya terlalu keras."
Seseorang melempari Pak Saleh dengan sandal kayu yang mendarat tepat di kepala. Tak ada reaksi, hanya napas lemah tak teratur seperti harimau yang hampir mati.
"Tenang saja. Dia masih hidup," ucap si pelempar yakin.
Melihat teman-temannya masih separuh sadar, si mata satu ke luar ruangan, menutup pintu, lalu menguncinya dari luar. Tak mau ambil risiko tawanannya menyelinap kabur selagi orang-orang separuh tidur.
"Fahmi sok jago sekarang. Mentang-mentang dipercaya sama bos."
"Bener, Cak. Rasanya pengin aku colok sisa matanya, biar buta dua-duanya."
"Sabar, Le. Ini hari terakhir. Setelah ini, kita kerja sendiri-sendiri. Kita punya banyak waktu dan kesempatan untuk balas dendam sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
TerrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...