CHAPTER 59 - DI PENGHUJUNG TIMUR

12.2K 1.5K 221
                                    

DUA HARI KEMUDIAN

Banyusirih sedang menyembuhkan diri. Tidak semuanya pulih, tapi beberapa sistem sudah berjalan dengan normal. Walaupun di beberapa sudut, duka dan trauma masih mengendap. Bantuan dan uluran tangan kadang hanya menjangkau permukaan, dan tidak mampu meraih mereka yang jauh di dasar. Duka ini milik bersama, tapi hidup dan mati tetap sendiri-sendiri.

Leduk sudah mulai melaut. Kapal-kapal kecil sudah mengarungi bahari sejak dini hari. Beberapa kesempatan untuk mengaji kitab sementara ini dialokasikan untuk mengkaji perisitiwa. Ustaz Edo mengenalkan mereka pada Tuhan, sekarang mereka harus lebih mengenal manusia. Saudara, sahabat, dan sebuah kepercayaan.

Lindung masih berduka. Kegiatan belajar mengajar di madrasah sudah kembali dimulai. Sebagian jam pelajaran digunakan untuk mendoakan ustaz mereka yang gugur dalam peristiwa kemarin.

Berbeda dengan Sumbergede. Kepala desa mereka tiba-tiba saja memutuskan untuk mengundurkan diri. Merasa bersalah karena masih ada ninja yang lolos ke pesantren dan mencelakai Kiai Fatah. Merasa tidak sanggup menjaga keamanan desa hingga beberapa warganya harus jadi korban. Tidak hanya mengundurkan diri, Pak Ridho dan keluarganya juga memutuskan untuk pergi dari Sumbergede. Banyak yang bertanya kenapa? Tapi hanya segelintir yang tahu jawabannya, dan mereka memilih diam.

Kiai Fatah masih dalam masa pemulihan, dan belum boleh pulang dari rumah sakit. Setelah semua yang terjadi, Kiai Fatah yakin Sokogede tidak akan goyah. Pesantrennya akan tetap berdiri sekokoh benteng, dan akan tetap berjuang untuk mendidik, berdakwah, dan melayani umat.

Pemakaman Sokogede

Pagi itu, pemakaman Sokogede adalah milik Pak Saleh, Ki Jalu, Gusafar, dan Mbah Sopet. Tidak ada orang lain yang berziarah. Khusus makam para Kiai, di sekelilingnya dipasang pagar besi, dicat putih bersih, dan selalu ada santi yang berjaga. Namun, sekarang ditutup rapat sejak merebaknya isu pembongkaran makam. Santri yang berjaga pun ada tiga orang.

Pak Saleh dan kawan-kawannya tidak datang untuk berziarah pada makam para Ulama. Mereka datang untuk memberikan salam terakhir pada para sahabat yang gugur mendahului mereka. Doa dan ayat suci sudah mereka lantunkan. Tanpa terasa, ada sedikit air di mata-mata renta nan sedikit layu itu. Mereka bisa lancar mengaji berkat Umar dan Maksum. Si kembar yang paling alim jika dibandingkan anggota Karmapala yang lain. Bahkan Kiai Fatah pun memuji Umar dan Maksum. kendati keduanya lahir di seberang, keluarganya ikhlas bila almarhumain dimakamkan di Sokogede.

Di samping makam Umar dan Maksum adalah makam H. Karim. Di hadapan makam itulah Pak Saleh menangis. Air kendinya tak jadi ia siramkan, karena kuburan itu terlanjut basah oleh air mata. Bahu tegap Pak Saleh tampak turun rendah sekali. Mungkin bebannya sudah berkurang, memudar bersama kerusuhan ini. Lalu, sakit hatinya sudah turun ke hati, dan ia simpan di sana sampai nanti dia mati.

Pak Saleh berdiri, disusul oleh Ki Jalu, Mbah Sopet dan Gusafar. Karmapala tinggal berempat. Mereka memandangi makam Umar, Maksum, H. Karim, dan satu kuburan baru yang masih tak rela mereka tinggalkan terlalu cepat. Di batu nisannya terpahat nama Rahwan. Pak Saleh menunjuk tanah kosong di samping kuburan Rahwan.

"Aku pesan tempat itu," kata Pak Saleh.

"Bagus, disampingnya bisa dipakai Jalu, di sampingnya lagi untuk Sopet," sahut Gusafar.

"Tumben mengalah?" tanya Ki Jalu.

"Soalnya saya yakin, kalian pasti mati duluan," jawab Gusafar.

Andai bukan di pemakaman, maka itu sudah cukup jadi genderang perang. Lagipula, Pak Saleh memecah ketegangan itu dengan sebuah pertanyaan. "Apa kalian sudah pergi ke keluarga Rahwan?"

Mbah Sopet dan yang lain menggeleng.

"Rahwan sudah tidak tinggal dengan istrinya, kan? Anak-anaknya juga kerja ke luar kota. Menurut yang aku dengar, yang mengurus pemakaman dan tahlilan adalah Adam, Ghazali, dibantu oleh tetangga dan para santri.

"Rahwan kesepian, makanya dia pergi duluan," kata Ki Jalu.

"Mulai nanti malam, tahlilannya Rahwan disatukan saja dengan Karim. Segala sesuatunya biar aku dan Fatah yang urus. Dianggap atau tidak, kita adalah keluarganya juga, kan? Meskipun kita kadang terlalu keras—tidak, maksudku,aku terlalu keras. Rahwan sudah kuanggap seperti adik...."

Tangan Pak Saleh bergetar hebat.

"Sepertinya aku harus berhenti menganggap orang lain sebagai keluarga. Karena semua yang jadi keluargaku, satu persatu mati lebih dulu."

Tidak ada yang menjawab. Semua mengenang masa-masa saat Karmapala bersama, lalu membandingkannya dengan bagaimana mereka sekarang. Menyedihkan.

"Rodin, bagaimana dia sekarang?" tanya Pak Saleh.

Mbah Sopet berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu ini kabar baik atau buruk buat Kakeh, tapi... Rodin masih hidup. Dia masih di rumah sakit, dan dalam pengawasan polisi."

"Baguslah," jawab Pak Saleh.

"Bagus?"

"Dia membenci hidupnya. Aku hukum dia dengan memberinya hidup lebih lama."

"Yang aku dengar, dia tidak bisa berjalan normal lagi setelah ini. Sepertinya itu bagian dari hukumanmu."

"Setelah ini, aku akan berziarah ke makam Sunan. Kalian ikut, kan?"

Mereka beranjak dari pemakaman. Begitu mereka melangkahkan kaki ke luar gerbang astah, secara resmi Karmapala bubar. Perang selanjutnya adalah milik generasi yang baru, medan yang baru, konflik baru, tapi mereka percaya di sana ada masa depan yang lebih baik. Pak Saleh dan kawan-kawan ingin tetap hidup untuk melihat hari itu. Bila tidak bisa, cukuplah kedamaian meneduhkan makam-makamnya kelak. Mengharumkan negeri hingga wanginya tercium ke alam sana. Mereka sudah melakukannya. Sekarang...

GILIRAN KALIAN!

TIMUR TRILOGI #3

EKSEKUSI TAPAL KUDA

TAMAT

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang