CHAPTER 53 - KOREK PERAK

11.2K 1.4K 267
                                    

Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih

Boleh dibilang, tugas Ki Jalu yang paling santai. Tidak butuh banyak gerak, tidak mengharuskannya bermanuver dari satu titik ke titik yang lain. Cukup duduk santai, merokok sambil menunggu kiriman. Selagi kiriman belum datang, Ki Jalu menganggurkan empat orang yang sedang duduk di hadapannya, membentuk separuh lingkaran. Tangan empat orang itu diikat ke belakang pada sandaran kursi kayu. Ki Jalu jadi poros. Ia duduk di tengah layaknya bos. Di belakang si bos, ada Man Rusli dan Mufin yang jengkel karena merasa jadi pelayan kakek-kakek. Mereka berdiri di kedua sisi sambil menunggu instruksi.

"Nganu, Kang Jalu. Apa tidak sebaiknya kita selesaikan empat orang ini dulu, sambil menunggu yang lain datang? Ini, maaf sebelumnya kalau saya lancang, tapi dengan begitu, bukankah lebih menghemat waktu?" tanya Mufin.

Bagus, Fin. Saya ingin bilang begitu, tapi takut orang ini ngamuk, Man Rusli membatin.

Ki Jalu mencabut rokoknya dari gigitan. Sudah beberapa menit sejak ia menengadah dengan mulut disumbat kretek. Mirip cerobong asap tua yang berlumut. Ki Jalu membuang rokonya ke lantai. Ia perbaiki posisi duduknya, meregangkan otot leher dan tangan, lalu tersenyum.

"Kenapa tidak bilang dari tadi?" katanya sambil memberi Man Rusli dan Mufin tatapan menyalahkan.

Ki Jalu bangun. Ia mendekati empat orang teman barunya yang entah kenapa mulai gerak-gerak gelisah.

"Fin, kalau kamu tidak kuat, sebaiknya kamu ke luar," bisik Man Rusli.

"Tidak kuat sama apa, Man?" tanya Mufin.

"Sama apa yang akan kamu lihat sebentar lagi. Aku dengar, di antara para Karmapala, orang ini yang paling sadis."

Mufin menyembur tawa kecil tertahan. Ia meragukan ucapan Man Rusli barusan. Bagi Mufin, Man Rusli sudah terlalu tua untuk terdengar menyeramkan, dan Mufin sudah jauh lebih berpengalaman untuk termakan oleh gertak sambal.

Ki Jalu mengitari keempat teman bermainnya sambil mengendus-endus bagian belakang kepala mereka. Hal itu membuat mereka tidak nyaman.

"Kita absen dulu," kata Ki Jalu.

Ki Jalu berdiri di tengah. Ia menyalakan rokok baru, kemudian dipakainya untuk menunjuk orang yang duduk paling kiri.

"Kamu yang telanjang dada dan bertahi lalat di dekat pusar, namamu Sumarwan, kan? kamu yang menyerang rumah Salehudin tapi justru bertemu Maulida, Adam dan Ghazali. Benar, kan?" tanya Ki Jalu, ramah.

Orang bernama Sumarwan itu membuang muka. Ia akan terdengar bodoh bila menjawab pertanyaan itu. Namun, begitu pandangannya kembali ke depan, wajah Ki Jalu sudah satu sentimeter di depannya, melotot, dengan mulut menganga.

BENAR, KAN?

"Be-be-betul, Mbah. Betul. Itu saya, tapi bukan saya yang menyerang Ki Saleh keesokan harinya, Mbah. Benar bukan saya. Saya hanya mengintip—"

Ki Jalu meletakkan rokoknya di mulut Sumarwan. Dengan terpaksa Sumarwan mengatupkan mulut, terdiam, dan tak berani mengisap.

"Jangan jawab apa yang tidak saya tanyakan," ucap Ki Jalu, sambil menyalakan rokok yang baru.

Sekarang, ia menghampiri orang kedua.

"Kalau kamu, namamu Dulmuni, ya? Kamu yang datang keesokan harinya ke rumah Salehudin, kan?" tanya Ki Jalu sambil membungkukkan badan.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang