CHAPTER 18 - TARGET

18.3K 2K 130
                                    

Desa Sumbergede, Kecamatan Banyusirih, Pendopo Kiai Fatah

Malam itu beberapa kesepakatan telah dibuat. Seperti rapat pada umumnya, seringkali keputusan yang dibuat tidak bisa menyenangkan semua pihak. Pak Saleh tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, melihat teman-teman seperjuangan dulu memilih angkat tangan dan menghindari perang. Beberapa alasan dikemukakan, berbagai pertimbangan di sampaikan, tapi Pak Saleh masih keras kepala. Pak Saleh dengan tegas meminta peran penting dalam operasi kecil mereka. Ia menolak mengirimkan orang lain, terutama muridnya sendiri.

"Kamu tahu, kan. Kamu tidak harus melakukannya sendiri." Kata Ki Jalu.

"Ya. Tapi lebih menyedihkan lagi, melihat orang lain melakukannya demi saya." Jawab Pak Saleh.

"Terserah kalau begitu."

Malam sudah semakin larut. Rapat itu pun bubar. Tampak beberapa diantara mereka masih berbincang-bincang, lalu kemudian pamit pulang. Kiai Fatah bersikeras untuk ikut Pak Saleh ke rumahnya, karena khawatir akan putrinya. Kiai Ilyas bersiap menuju masjid, sedangkan H. Karim dan Ki Rahwan sudah lebih dulu pulang ke rumah. Hal yang harusnya mereka lakukan setibanya di Sumbergede tadi.

"Kiai, Jenengan tidak mengundang Kiai Mahlawi?" Tanya Pak Saleh. "Saya sangat ingin mendengar cerita beliau tentang kematian muridnya itu."

"Sudah, Pak Saleh. Sayangnya Kiai sedang ke Ibukota, ada pertemuan dengan orang-orang penting di pemerintahan pusat."

"Beliau orang sibuk, Kang Saleh. Tidak seperti kita." Timpal Kiai Fatah.

"Saya juga sibuk, hanya saja tidak ada yang tahu." Pak Saleh tidak mau kalah.

"Ya jelas tidak ada yang tahu, Sampean kan tinggal di hutan."

Kiai Ilyas tersenyum mendengar celetukan Kiai Fatah.

"Untuk saat ini, biarkan Kiai Mahlawi bergerak di luar Tapal Kuda. Kita butuh informasi mengenai apa yang terjadi di ibu kota. Karena setahu saya, suasana di barat pun mulai memanas." Ujar Kiai Ilyas.

"Setelah apa yang terjadi di Gandrung dan Patokan, harusnya para petinggi di ibukota turun tangan. Atau jangan-jangan mereka lupa, bahwa kita masih berlindung di bawah bendera yang sama?" Kata Pak Saleh.

"Tidak. Tragedi ini bukan milik umat islam saja, tapi milik nusantara. Kalaupun saat ini tidak banyak orang yang melihat ke timur, itu karena apinya belum sampai ke barat. Begitu api ini menyebar,

TAPAL KUDA HANYA SEBAGIAN KECIL, DARI KERIBUTAN BESAR YANG AKAN MENJELANG.

***

Desa Sumbergede, Kediaman Abdul Fatah

"Fatah!"

Kejutan. Fatah nyaris menjatuhkan perkakas beratnya ke kaki. Tapi suara besi menghantam lantai itu adalah bukti bahwa kaki Fatah baik-baik saja.

Aluf tergesa-gesa menghampiri Fatah di garasi yang masih bingung dengan kehadiran gadis itu di rumahnya.

"Al—aluf?"

"Kamu tidak apa-apa, kan?"

"Sedang apa kamu di rumah saya malam-malam begini?"

Di ruang garasi yang gelap; tepatnya di belakang Fatah. Aluf merasakan kehadiran seseorang. Ia selalu yakin dengan firasatnya sendiri, termasuk saat ini Aluf merasa bahwa mereka tidak sendiri di dalam garasi. Diraihnya linggis yang ada di samping Fatah, kemudian dilemparkan ke arah yang aluf curigai.

Tidak ada suara orang berteriak seperti yang Aluf perkirakan. Hanya suara benda hancur di kegelapan garasi, diiringi tangisan Fatah, karena di sanalah motor bebeknya berada.

"Apa pintu gerbang garasi selalu kamu biarkan terbuka?" Tanya Aluf sambil menunjuk pintu gerbang garasi yang berdaun ganda, dan berukuran besar. Pintu itu sedikit terbuka, tapi karena di luar juga gelap, jadi sedikit sulit membedakannya.

"Eh, benar juga. Saya tidak memperhatikannya."

Aluf menarik Fatah ke dapur, lalu mengunci rapat pintu ke garasi, menyusul kemudian pintu lain di setiap ruangan di rumah Fatah, hingga akhirnya mereka berdua berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah ada Nurina dan kedua anaknya; Nail dan Imdad.

"Kalian berdua tidak tidur?" Tanya Aluf pada Nail dan Imdad. Kedua bocah itu serempak menjawab, "Tidak."

"Apa kalian melihat orang bertopeng dan mencurigakan yang masuk ke rumah ini? " Tanya Aluf.

Nail dan Imdad serempak menunjuk Aluf.

Kepala Aluf belum sempat dingin, namun sudah kembali panas oleh tingkah kedua anak Nurina. Sejak awal, Aluf memang tidak suka dengan anak kecil.

"Baik, sekarang jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Fatah yang mulai kesal, karena selain merusak motornya, ternyata Aluf juga merusak pintu rumah Fatah, dan ini bukan yang pertama.

"Malam ini, seseorang mendatangi rumah Kak Tuan, setelah meninggalkan tanda merah di pintu rumahnya. Rencana orang itu gagal karena Kak Tuan tidak ada di rumah, dan sesuai dugaanku orang itu mendatangi rumah Haji Karim."

"Orang itu?"

"Ya, pembunuh berantai yang akhir-akhir ini meresahkan desa."

"Pembunuhnya, masih di rumah ini?" Tanya Nurina seraya memeluk kedua anaknya.

"Jadi yang mematikan lampu di garasi itu..."

"Jangan gegabah dulu. Karena kalau perkiraanku benar, mereka tidak akan mencelakai orang yang bukan targetnya."

"Bagaimana kamu bisa yakin?" Tanya Fatah.

"Aku dan dua orang teman sempat menghalau pembunuh itu di rumah Kak Tuan, dan seperti yang aku katakan, orang itu kabur tanpa pelawanan setelah tahu bahwa KakTuan tidak ada di rumah."

Nail dan Imdad menangis. Mereka sudah dengar tentang isu ninja dari obrolannya dengan teman-teman di madrasah. Nurina tampak kewalahan menenangkan kedua anaknya yang ketakutan, sementara Aluf kelihatan sangat senang karena berhasil memberi bocah itu pelajaran.

"Saya harus pergi melaporkan ini pada kepala desa?" Tanya Fatah.

"Jangan, kak. Sebaiknya sampean tetap di sini." Pinta Nurina.

Aluf menyalakan semua lampu di rumah itu, kecuali lampu garasi yang memang sudah mati. Ia masuk ke kamar Fatah dan Nurina tanpa sedikitpun rasa sungkan, lalu mengintip lewat jendela kamar dimana Aluf bisa melihat garasi dengan jelas. Pintu gerbang garasi terbuka lebih lebar dari yang dia ingat, membuat Aluf berpikir bahwa pembunuhnya sudah pergi dari rumah Fatah.

"Aluf, bisakah kamu berjaga di sini sementara saya pergi ke rumah Pak RT?" Pinta Fatah.

"Kamu mau meninggalkan dua orang anak dan dua orang perempuan di dalam situasi seperti ini?" Tanya Aluf.

"Oh, ayolah. Jangan sejajarkan dirimu dengan perempuan normal seperti Nurina!" Fatah menghampiri istri dan anak-anaknya, kemudian berusaha meyakinkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja.

"Kalian lindungi Umi selama Abah pergi, mengerti?"

"Mengerti!" Jawab Nail dan Imdad dengan mata berkaca-kaca. Andai Fatah tahu, kedua bocah itu sama sekali tidak mengerti.

Akhirnya, Nurina dan kedua anaknya hanya bisa pasrah menunggu Fatah pulang. Aluf berjaga sepanjang malam, hingga akhirnya Haji Karim datang bersama Fatah dan beberapa orang warga.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang