Sempat terjadi perdebatan antara Bowo, Sukur, dan Miskil, tentang apa yang harus mereka lakukan dengan tangkapannya itu. Satu persatu sudah menyumbangkan tendangan dan pukulan, hingga wajah orang yang tadi ditutup kain hitam, kini berganti diselimuti darah. Kejam memang. Bowo dan teman-temannya tidak tahu lagi harus melampiaskan kekesalannya pada siapa. Terlebih lagi, orang itu hanya diam saja. Di sobek pipinya dengan pisau pun tidak berteriak. Akhirnya, sandera itu mereka ikat dibawah pohon cempaka.
"Orang ini seperti sudah kebal disiksa. Lembek tapi tubuhnya seperti mati rasa." Kata Miskil.
"Jangan lengah. Kita harus menahan diri sampai Daud kembali bersama aparat." Sahut Sukur.
"Kata orang yang habis menendang mukanya empat kali." Timpal Bowo.
Ia mengambil senjata yang tergeletak di tanah, dan memisahkan pedang orang itu dari selongsongnya.
"Hei." Kata Bowo pada orang itu. "Kamu sudah melewati malam yang besar, hah?"
"Ada apa?" Sukur minta penjelasan.
"Teman-teman, sepertinya kita beruntung karena sudah menangkap salah satu pembunuh berantai yang sedang populer di Jawa Timur."
Seketika itu Miskil dan Sukur membuat jarak cukup jauh dari pria misterius tersebut. Sudah hampir satu minggu mereka berdua memakan isu betapa saktinya pembunuh yang dimaksud. Ada yang bilang, mereka bisa hilang, bisa berganti wujud, bahkan bisa terbang. Definisi sakti di kepala warga jadi makin tidak masuk akal karena dibumbui rasa takut.
"Jangan bercanda, Wo! Darimana kamu bisa tahu?" Tanya Miskil.
"Ada sedikit noda darah di pedang ini. Sebaliknya, di celana orang itu ada banyak. Mungkin sehabis digunakan membunuh, darahnya dilap dengan celananya. Lihat, bentuknya juga sama."
"Be-benar juga." Sukur setuju. "Tapi, kita mudah sekali menangkap orang ini. Apa benar pembunuh itu sakti? Atau hanya media saja yang berlebihan?" Lanjut Sukur.
"Mungkin lawannya malam ini terlalu berat. Lihat, orang itu juga punya luka di bagian telinga, pertanda bahwa korbannya sempat melawan. Bisa jadi masih hidup, makanya orang ini kabur."
Tidak. Entah kenapa saya merasa, kalau orang ini memang sengaja ingin ditangkap. Pikir Bowo. Sengaja tidak diucapkan agar tidak membuat teman-temannya bingung.
Bowo merunduk. Ia mencoba mengajak sanderanya bicara. Kali ini dengan mulut, bukan dengan kaki.
"Kakeh reng dimmah?*" Tanya Bowo.
*) Kamu orang mana?Mendengar pertanyaan Bowo, untuk pertama kalinya orang misterius itu membuka mulut. Ia mengucapkan sesuatu yang membuat mata Bowo terbelalak. Posisinya yang merunduk tiba-tiba jatuh duduk. Karena kondisi yang lemas, suara orang itu hanya bisa didengar Bowo.
"Bowo, kamu kenapa?!"
"Hei, jangan bilang kalau ini adalah ulahnya."
Miskil dan Sukur ketakutan. Dipikiran mereka, Bowo sudah terserang oleh tenaga dalam.
"Tidak apa-apa. Kalau kalian takut, sebaiknya jangan dekat-dekat."
Akhirnya Sukur dan Miskil benar-benar tidak mendekat. Bahkan mereka menggeser koran yang jadi alas duduk, lebih jauh dari Bowo, lebih dekat ke gerbang makam.
Bowo melemaskan syarafnya yang sempat tegang. Ia duduk bersila, dan setelah jantungnya kembali tenang, Bowo mengajak sanderanya bicara.
"Kamu, bukan orang sini kan? Bahasa yang kamu pakai barusan itu... bahasa daerah Gandrung bukan?" Tanya Bowo. Semua diucapkan dengan bahasa daerah yang hanya dimengerti oleh keduanya.
"Oh, tidak banyak orang Patokan yang mengerti bahasa kami." Jawab orang itu.
Selanjutnya mereka berbincang-bincang dengan bahasa Gandrung. Selain tidak terdengar Miskil dan Sukur, percakapan itu pun tidak bisa dimengerti.
"Untuk penduduk Gandrung yang saat ini sedang dalam Teror yang sama, Kamu benar-benar mengejutkan saya. Bagaimana mungkin pelaku pembantaian di Sumbergede kemarin, ternyata adalah orang Gandrung."
Orang itu tersenyum kecut. Lalu kemudian meludah darah.
"Kita bertetangga. Karena itu kita saling bantu." Katanya.
"Apa maksudmu?" Tanya Bowo sedikit mengancam. "Siapa yang malam ini sudah kamu bunuh?"
Tanpa ragu-ragu, dengan penuh bangga orang itu menjawab.
"Seorang tukang santet. Dalang dari pembongkaran makam yang belakangan ini meresahkan sumbergede."
"Tukang santet?"
"Ya, namanya adalah..."
MAHRUM
Sebuah pukulan keras mendarat ke muka. Orang itu terhenyak hingga kepalanya membentur pohon cempaka tempatnya diikat.
"Hei Bowo! Berhenti memukulnya. Sebentar lagi aparat desa datang." Teriak Sukur dari kejauhan.
"Hati-hati kalau bicara! Menghina Kiai di banyusirih adalah sebuah..."
Orang itu tertawa dengan suara yang tertahan di dadanya. Yang membuat Bowo semakin ingin menyiksanya.
"Kiai, Ustad, Guru ngaji, Tabib, kenapa kalian punya banyak gelar untuk orang yang satu pun tidak pantas menyandangnya."
"Apa maksudmu?"
"Mahrum adalah pemilik ilmu hitam. Pengaruhnya besar di masyarakat karena kalian sudah terpengaruh oleh guna-guna si tukang gali kubur itu. Dan kalau kamu pikir itu tidak cukup membuatnya berdosa, coba ingat kembali... siapa juru kunci yang selamat dari pembantaian dulu? Ya, hanya Mahrum seorang. Coba ingat kembali, siapa diantara orang-orang Banyusirih yang sangat mengerti seluk beluk makam hingga bisa membongkarnya dengan cepat tanpa ketahuan? Ya, hanya Mahrum seorang. Dia sudah membunuh ketiga juru kunci lain, termasuk pamannya sendiri; Ki Mujur. Kemudian pelan-pelan mencuri perhatian warga, mencuri simpati kiai, sementara di belakang mereka, ia menyantap bangkai-bangkai..."
"Cukup! Semua ocehanmu itu tidak beralasan."
"Kalau yang kamu cari adalah bukti, datanglah ke rumah Mahrum esok pagi. Ada sesuatu di dalam sumur tua yang ada di halaman rumahnya. Kamu akan terkejut saat melihatnya."
Akhirnya para aparat desa sampai ke kuburan. Mereka membawa dua orang tentara berbadan tegap. Langkah yang tepat untuk mengantisipasi perlawanan dari tersangka. Miskil dan Sukur menyambutnya di gerbang kuburan, sementara Bowo tampak sibuk mendengarkan bisikan pembunuh itu. Wajahnya sangat serius. Bowo benar-benar mendengarkan dengan cermat.
"Jadi, apa orang ini sudah mau bicara?" Tanya Kepada Desa, begitu tiba di depan pohon cempaka.
"Belum. Dia belum bilang apa-apa." Jawab Bowo sambil memandangi si pembunuh yang sedang dilepaskan ikatannya. Orang itu dipapah dengan kasar menuju mobil, senjatanya pun dibawa sebagai barang bukti, hanya meninggalkan sebuah senyuman penuh misteri dan sesuatu yang sedang bowo genggam saat ini.
"Kerja bagus, Bowo. Maaf kalau kami lama. Daud datang bersamaan dengan orang dari Desa Leduk. Bowo, Kiai Mahrum meninggal. Beliau dibunuh oleh seseorang. Kami akan melakukan pemeriksaan terhadap orang ini yang kemungkinan besar, ada hubungannya dengan pembunuhan sang kiai."
Kepala Desa pamit meninggalkan Bowo. Untuk beberapa menit, Kuburan Lindung ramai sekali. Warga yang kebetulan lewat jadi berhenti karena penasaran. Bowo masih mematung dibawah pohon cempaka. Lalu, saat keadaan kembali sepi, ia membuka genggaman tangannya.
Ada secarik kertas yang diberikan pembunuh tadi padanya. Disana ada banyak nama orang yang sangat familiar bagi Bowo. Nama Kiai Mahrum pun tertara di sana, dengan sebuah coretan berwarna merah. Seolah Kiai Mahrum adalah target yang sudah disingkirkan. Bowo membaca nama selanjutnya yang ada di daftar itu. Anehnya, tidak ada sedikitpun rasa khawatir atau kasihan. Bowo justru dikuasai prasangka bahwa 'H. Karim' adalah tukang santet, karena namanya ada tepat di bawah nama Kiai Mahrum. Tidak hanya itu...
"Benarkah... jadi, semua nama-nama ini adalah orang terkutuk. Musuh Sumbergede yang sebenarnya, ternyata dekat dengan kami."
BENARKAH?
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...