Kehadiran Salehudin di tengah-tengah mereka sangat merikuhkan suasana. Semula mereka banyak bicara, sekarang tidak tahu harus berkata apa. Pendopo ndalem bisa jadi panggung kedua bagi kegilaan Salehudin, jika salah satu dari mereka salah bicara. Bahkan Jalu yang tidak sengaja beserdawa saja kepalanya langsung terkena pentung keras dari gagang sapu. Di antara kebekuan itu, ada hawa mendidih yang masih menguapkan kemarahan dengan sangat jelas. Gusafar duduk di depan Salehudin, bersila, menatap Salehudin seolah menagih ronde kedua. Belum cukup pulas dia tidur di tanah, pikir Umar.
"Saudara sekalian, urusan pribadi bisa menunggu. Sekarang, mari fokus pada renca--" Imbauan Lora Ilyas terputus.
Masih terdengar geraman macan berkaki dua. Gusafar belum putus asa memprovokasi lawannya, sementara Salehudin hanya diam, mencari suaka bagi pandangannya. Kemana saja, asal tidak melihat kebodohan Gusafar.
"Kita jadi berangkat lusa, Ra?" tanya Jalu.
"Ya. Sebenarnya kami butuh 10 orang, tapi kalau yang bisa cuma segini juga tidak apa-apa."
Semua berangsur masa bodoh dengan Gusafar. Mereka memperhatikan Lora Ilyas, terutama saat Lora mengumumkan tujuan sebenarnya dari ekspedisi tersebut.
Sopet mengepalkan tangan dengan antusias. Lawang Jerit adalah nerakanya Tapal Kuda. Kapan lagi dia bisa dapat tiket pergi ke sana?
Umar dan Maksum menelan ludah. Kalau salah satu dari mereka mati, mereka takut tidak bisa bicara normal lagi.
"Saporana, Ra. Dari misi yang Jenengan jelaskan barusan, sepertinya akan banyak kejar-kejaran di hutan. Kita juga tidak mungkin berkelompok selamanya. Kita butuh pengalihan."
"Sopet benar, Ra. Kami di sini adalah tukang rusuh, dan tukang rusuh tidak cocok untuk misi penyusupan macam ini. Kita tidak bisa mendobrak pintu satu persatu tanpa membangunkan tuan rumah." Jalu memebenarkan.
"Benar juga," gumam Lora Ilyas, "Sekalem-kalemnya Sunan, kalau sudah ketemu musuh, dia tidak akan lari. Apalagi dia seorang tabib. Perannya penting untuk mati paling akhir. Belum lagi Gusafar. Tidak ada musuh pun, dia akan cari. Cuma Maksum dan Umar saja yang terampil mengendalikan diri. Sayangnya mereka yang paling muda dan kurang pengalaman. Omongan mereka jarang didengar. Jalu dan Sopet bisa diandalkan untuk cari informasi, tapi mereka yang paling lemah dalam hal beladiri. Terus Salehudin ...." Lora melirik Salehudin yang mulai merasa tidak nyaman karena sejak tadi diperhatikan Gusafar. "Orang ini tidak bisa ditebak jalan pikirannya. Dia pedang bermata dua. Harus ada orang yang mengingatkannya mana lawan dan mana kawan. Duh, di saat begini, Fatah ke mana, sih?"
"Apakah kita kekurangan orang?" tanya Salehudin. Dia baru bicara, dan pendopo itu mendadak jadi miliknya. Semua mendengarkan.
"Ya, kalau bisa, genapkan sepuluh sesuai rencana." jawab Lora.
"Tapi kita tidak kekurangan pendekar. Kita kekurangan pencuri," tanggap Jalu.
"Kalau pencuri yang kalian cari, saya kenal beberapa," ucap Salehudin.
***
Mereka pergi ke pasar hari itu juga. Yang diutus mendampingi Salehudin hanya Umar dan Maksum, tapi entah mengapa semuanya ikut. Kehadiran tujuh orang aneh itu telah menyita perhatian para pedagang. Beberapa tampak melindungi dagangannya, bahkan ada yang sudah menutup pintu toko separuh. Umar dan Sunan merasa risih diperhatikan begitu. Seolah kehadiran mereka adalah musibah. Sementara itu, Salehudin berjalan santai sambil melempar-lemparkan kantong uang, menangkapnya lagi seolah itu mainan.
"Pedagang di sini pada pemalu, ya?" celetuk Sopet.
"Mereka takut," sahut Jalu ketus.
"Sama Kakeh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...