CHAPTER 47 - SEBELUM AKU MATI

15.4K 1.7K 294
                                    

Sokogede, Banyusirih

Dua pengasuh Sokogede tengah bercengkerama di pendopo. Obrolan dua orang Kiai tentu tak luput dari permasalahan umat, syariat Islam, kadang juga menyerempet politik jika memang dibutuhkan. Namun, sore ini, semua yang berat-berat hanya dibahas sesaat. Kiai Ilyas dan Kiai Fatah tengah berseloroh tentang banyak hal. Beberapa pengurus pesantren dan guru madrasah ikut mendengarkan dan jadi bagian dari suasana hangat itu. Tawa jenaka, tapi tidak menertawakan orang lain. Menepis anggapan orang-orang tentang sosok tokoh agama yang katanya, selalu serius dan kolot. Tentu saja tidak. Kiai juga punya selera humor. Untuk orang-orang tertentu, humor adalah media dakwah yang lebih mudah diterima. Meskipun, untuk sebagian yang lain, mereka lebih senang dibentak dan dimarahi.

"Hati-hati kalau melawak di depan santri. Ilmu dan leluconnya harus seimbang. Terlalu 'ngilmu', lawaknya tidak lucu. Terlalu lucu, ilmunya tidak tersampaikan," nasihat Kiai Ilyas.

"Maaf menyela, Kiai. Saya baru dapat kabar dari Kiai Mahlawi, tentang pembentukan tim pencari fakta di pusat," sela seorang ustaz, mengubah haluan percakapan sore itu.

"Alhamdulillah. Ada alasan untuk kita tidak main hakim sendiri. Kita percayakan semuanya sama mereka," tanggap Kiai Ilyas.

"Nganu Kiai, kenapa tidak ada perwakilan dari pesantren kita yang berangkat ke Jakarta?"

"Kiai Mahlawi sudah cukup mewakili Banyusirih, bahkan Patokan. Visi kita sama, toh? Kalau dua kepala punya pemikiran yang sama, maka cukup satu mulut saja yang bicara. Kalau semuanya bicara, tidak cukup telinga yang akan mendengar."

"Itu kata-kata Abah dulu, kan?" celetuk Kiai Fatah.

"Karena saya yang mengucapkan, sekarang jadi kata saya," sahut Kiai Ilyas. "Tapi, ada saat di mana semua harus bicara, semua harus bersuara. Suara kita itu murah, lho. Makanya banyak yang bisa beli. Sayangnya, orang yang suka beli suara biasanya suka jualan juga. Ini tidak bisa dihindari. Kita hanya perlu bersuara untuk orang yang tepat," lanjut Kiai Ilyas.

"Saya tidak pernah dengar abah bilang begitu," celetuk Kiai Fatah lagi.

"Karena ini memang asli dari saya," tegas Kiai Ilyas.

Orang-orang tersenyum. Mereka tidak berani tertawa. Senyum sudah cukup mengungkapkan betapa serius dan menggelikannya suasana di pendopo kala itu.

Jauh dari pantauan, luput dari pengawasan. Sokogede kedatangan beberapa santri baru. Baru datang hari ini, baru kelihatan hari ini. Mereka menyebar di semua asrama. Berbaur dengan para santri lama, di musala, di madrasah, di masjid, padepokan, mereka ada di mana-mana. Mereka menunggu malam datang.

***

Desa Gentengan, Kecamatan Raga.

Si mata satu tercengang oleh kekacauan yang menyambut saat ia membuka pintu. Sebelah matanya yang buta karena kecelakaan, seolah hendak menyembul dan kembali melihat. Ya, tentu saja tidak mungkin, tapi ia seterkejut itu saat mendapati teman-temannya yang semula malas bangun, kini benar-benar tidak bisa bangun. Bercak darah dan kecap melukis lantai abu-abu, dan hampir tak ada bedanya. Pandangan sebelah mata menyapu ruangan, melihat teman-temannya terbujur, menelungkup, terlentang, oh, mereka pingsan dengan posisi yang beragam, tapi ada satu kesamaan, yakni mulut mereka sama-sama disumpal tulang ayam. Ada waktu untuk mengkhawatirkan keenam rekannya, tapi, menyadari bahwa ia pergi dengan membiarkan ruangan itu terkunci, artinya biang dari kekacauan ini masih ada di dalam, dan benar, Salehudin ada di belakang. Si mata satu baru menyadari saat ia menoleh dan lehernya langsung dicengkeram oleh tangan lebar yang nyaris membelenggu separuh lingkaran lehernya. Sungguh, tangan Salehudin rasanya besar sekali.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang