Desa Leduk, Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Hari mulai petang. Malam pertama Banyusirih dalam status siaga. Selepas adzan maghrib, petugas ronda sudah menempati posko masing-masing. Rumah para ustad, dan abdi pesantren pun dijaga ketat. Perempuan dan anak kecil dilarang keluar rumah kecuali didampingi petugas keamanan. Hanya saja, hal seperti itu tidak berlaku di Sumbergede. Desa itu seolah punya masalahnya sendiri.
Sesuai instruksi kepala desa Sumbergede, petugas ronda justru dikerahkan di beberapa kuburan umum guna mengantisipasi adanya pengrusakan makam lagi. Posko-posko Sumbergede kosong. Mereka tidak terlalu khawatir dengan keamanan para Kiai, mengingat Pesantren Sokogede memiliki banyak santri. Tanpa bantuan warga pun, para Ahlul Bait pasti sudah aman. Begitu yang warga Sumbergede pikirkan.
Di malam yang menegangkan itu, rombongan Kiai Mahrum sedang dalam perjalanan pulang melewati jalan utama ke Desa Leduk. Aspal yang mulus, dan penerangan yang baik adalah bukti bahwa Desa Leduk sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat beberapa tahun terakhir.
Kiai Mahrum pulang mengendarai mobil pribadi, ditemani seorang supir dan dua orang ajudannya.
"Jadi benar, semua itu hanyalah keisengan orang yang tidak bertanggung jawab?" Tanya supir yang sudah mengobrol dengan Kiai Mahrum selama perjalanan.
"Entahlah. Saya bingung. Yang dirusak hanya kuburan dan kayu penutup jenazah saja. Tidak ada tanda-tanda jenazah tersebut disentuh, atau diambil sebagian sisa jasadnya. Karena saya sendiri tahu, ada ilmu hitam yang memiliki syarat seperti itu. Hanya saja, yang terjadi di sumbergede itu benar-benar tidak bisa ditebak motifnya. Makanya saya bilang hanya iseng saja. Iseng yang kurang ajar."
"Semoga saja Sumbergede tidak mengalami apa yang kita alami dulu. Sekelompok orang pernah bermain-main dengan kuburan, hingga isinya keluar semua dan menghantui seluruh desa." Ujar sopir Kiai.
"Ah, waktu itu saya masih sangat kecil. Saya sampai kencing di celana gara-gara melihat penampakan pocong." Sahut salah seorang ajudan yang duduk di kursi belakang.
"Halah, Ping. Sampai sekarang pun kamu masih penakut. Saya sering dengar dari teman-teman santri. katanya Emping tidak berani berwudhu sendirian tengah malam." Ledek si supir.
"Kaya sampean berani aja, Kang."
"Ya, kalau saya sih memang tidak pernah takut sama yang namanya..."
POCONG!
Supir Kiai Mahrum berteriak sambil menginjak rem mobil, hingga kepala Kiai dan penumpang lainnya nyaris terbentur. Akhirnya mobil tersebut berhenti di jalanan sepi menuju Desa Leduk.
"Ada apa?" Tanya Kiai.
"Saya seperti melihat seseorang di tengah jalan barusan."
Seketika semua mata tertuju ke depan, pada jalanan Leduk yang sepi yang masih disinari lampu mobil. Lalu serempak semua menoleh pada si supir seolah bertanya 'Mana?'
"Saya tidak bohong barusan seperti ada orang."
Saat itu tiba-tiba terdengar suara kaca yang pecah. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan tidak terlalu nyaring. Tapi setiap kali bunyi itu terdengar, satu persatu lampu jalanan mendadak padam. Tanpa diperintah lagi, para pengawal Kiai Mahrum tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Kita harus cepat pergi dari sini."
Baru saja hendak menginjak tuas gas, terdengar suara benturan di atas mobil. Seperti benda jatuh dari langit, atau mungkin ada seseorang yang melompat ke atas mobil
Dengan sigap si supir menutup kaca jendela di samping Kiai Mahrum.
"Kalian semua merunduk!" Katanya memberi aba-aba.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HororBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...