Desa Sumbergede Kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan
Ketakutan menyelubung hati dan pikiran, kala hari semakin tua dan matahari semakin merendah. Setiap pergantian jam terasa mendebarkan. Andai bisa, mereka berharap waktu berhenti di angka tiga. Berputarnya jarum adalah transisi. Penduduk Banyusirih mulai melakukan persiapan bertingkat untuk menyambut datangnya malam.
Pukul 15:00 WIB, madrasah sore dibubarkan atas instruksi pengasuh pesantren. Serempak di semua desa. Para santri dan santriwati berebut kamar mandi. Mereka tidak ingin keluar asrama di atas jam lima. Sedangkan anak-anak tetangga mulai dicari-cari. Pasukan ibu-ibu berbaris lalu menyebar ke tempat-tempat bermain anak. Lapangan bola, Rental Komik dan VCD, Balai Desa, bahkan sebagian ada yang harus mencari ke hutan.
"Sudah berapa kali ibu bilang, jangan main ke hutan, apalagi lewat jam tiga!"
"Maaf, Bu."
"Terus, dari mana kalian dapat layangan sebanyak itu?"
"Ini dikasih Kakek saleh Bu, katanya ini hari terakhir Kakek jual layangan."
Begitulah percakapan ibu-ibu yang pulang sambil menarik telinga anak-anaknya karena berkeliaran di hutan.
Pukul 16:00 WIB, petani, nelayan, pedagang, hampir semua warga dengan beragam profesi sudah pulang ke rumah masing-masing. Bagi yang tinggal di kios dan warung, mereka menutup rapat pintu dan jendela bahkan melapisinya dengan kayu tebal yang mampu menahan lemparan batu.
Pedagang jajanan keliling menitipkan barang dagangannya di kantor desa, dan memilih pulang dengan ojek. Mereka sangat menghindari berada di jalan saat malam datang. Di pasar-pasar Banyusirih, masih tersisa beberapa keributan. Tawar menawar yang merugikan pedagang karena dilakukan terburu-buru, atau kekecewaan pembeli yang tidak dilayani karena akan segera tutup.
Pukul 17:00 WIB. Masjid sepi. Warga memilih salat sendiri atau berjamaah di musala kecil dekat rumah. Motor dan mobil yang lewat di jalanan desa bisa dihitung dengan jari, dan pengeras suara di masjid dan surau mulai mati--karena Takmir-nya* sudah pulang dan bersembunyi. Banyusirih pun menjelma jadi kumpulan desa mati.
PUKUL 18:00 WIB
Terdengar gema sirene polisi dari kejauhan. Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan, dan pintu yang tadi tertutup satu-persatu terbuka. Para kepala keluarga sudah berpakaian lengkap untuk pergi menjaga rumah para kiai dan guru ngaji. Hanya mereka yang tidak peduli yang masih betah di rumah. Berlindung menyelamatkan diri sendiri. Golongan ini diisi oleh mereka yang meyakini bahwa para korban pembantaian kemarin benar-benar pantas dihakimi. Santet adalah ilmu ghaib, tapi itu kejahatan yang nyata. Siapapun yang coba melawan kekejaman ilmu hitam, adalah pahlawan bagi golongan tersebut.
Dalam tiga puluh menit, warga sudah menempati posisi masing-masing. Malam ini mereka tidak pergi dengan tangan kosong. Semua membawa senjata. Semua haus darah. Bahkan yang berniat kabur saat musuh datang pun, masih membawa senjata. Karena selain agar terlihat peduli, orang-orang pengecut seperti itu juga ingin kelihatan punya nyali.
Suara sirene polisi terdengar semakin jelas. Mobil patroli melintas mengelilingi desa--memeriksa setiap sudut dan jalan sepi yang luput dari penjagaan warga.
"Bu, itu suara mobil wiu-wiu." Bisik seorang anak yang sedang duduk dalam dekapan ibunya--dalam gelapnya rumah mereka.
"Iya, itu sedang latihan. Sudah, kamu tidur saja." Ujar sang ibu menenangkan.
Beberapa saat, warna merah dan biru berputar-putar, memantul di jendela rumah mereka yang tinggal di pinggir jalan. Dari persembunyian, mereka menaruh harap Pada petugas berseragam, dan suami-suami mereka yang pemberani. Doa mereka mulai terdengar egois; Tuhan, jika harus ada yang mati malam ini, tolong jangan keluarga kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
EKSEKUSI TAPAL KUDA
HorrorBanyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, adanya gangguan ghaib berupa santet dan kunjungan tengah malam dari arwah korban yang gentayanga...