CHAPTER 43 - RUMAH YANG SEBENARNYA

27.2K 2.1K 497
                                    

Desa Leduk, kecamatan Banyusirih, Kabupaten Patokan.

Man Rusli sedang bercakap-cakap dengan seorang Polisi di gerbang utama Tambak Udang. Berlatar kesibukan pekerja tambak yang sedang menaikkan hasil tangkapannya ke dalam truk. Bukan ikan, bukan udang. Tangkapan yang mereka gotong adalah orang-orang yang semalam sempat mengacau desa.

Orang-orang itu mengerang kesakitan. Ada yang pincang, ada yang tangannya diperban, ada yang sudah tidak sadarkan diri. Warga menduga itu adalah kerjaan Polisi, tapi Polisi sendiri bingung menyelediki. Sampai pagi ini, yang tahu tentang Imam Ilyas hanyalah Man Rusli dan dua orang pekerja tambak. Termasuk Mufin.

"Tidak. Saya benar-benar tidak tahu," sangkal Man Rusli, untuk kesekian kalinya menjawab pertanyaan Polisi.

"Selongsong yang kami temukan, sama sekali tidak cocok dengan pistol yang kami bawa. Kalau sampai ada bukti, salah satu penduduk desa ini menyimpan senjata api, kami tidak akan mentoleransi. Apapun alasannya. Walaupun berniat melindungi diri dari kerusuhan, tindakan seperti ini justru memperparah suasana."

"Saya setuju, Pak. Tapi saya tidak tahu. Bapak-bapak sudah memeriksa sendiri ke dalam gudang, kan? Sudah keliling desa sejak subuh, kan? Kalau bapak-bapak saja tidak tahu, apalagi saya yang sejak tadi malam berjaga di sekitar sini," Man Rusli bersikukuh, konsisten pada kebohongannya. Dia bahkan tidak mengerti kenapa harus melindungi Imam Ilyas.

Datang seorang petugas. Dia membisiki polisi yang sejak tadi menanyai Man Rusli. Bos Tambak Udang itu manggut-manggut menguping.

"Kami menemukan mayat di Hutan Sokogede. Pemeriksaan sementara, korban dibuang ke sungai kering setelah ditembak."

"Kita ke sana. Empat orang yang patroli, biarkan tetap patroli. Kita tidak bisa percaya sama orang-orang di desa ini lagi."

"Siap!"

Kedua Aparat itu pergi tanpa permisi pada Man Rusli. Tak masalah. Lagipula, siapalah Man Rusli di mata seorang Polisi? Dia hanyalah pekerja tambak miskin, dan tak punya seragam untuk menegaskan identitas. Walau begitu, Man Rusli bisa bernapas lega. Gemetar namun senang karena bohongnya tidak ketahuan.

Truk yang mengangkut Jumad dan teman-temannya itu pergi. Disusul truk pengangkut motor para nelayan yang semalam dicuri. Dibawa sebagai barang bukti. Semoga bisa kembali. Karena, wajah miskin para pemiliknya hanya bisa mengiba, menghirup asap hitam knalpot sambil garuk kepala.

"Apa tidak apa-apa kita serahkan mereka sama Polisi, Man?" Tanya Mufin.

"Biarkan saja. Mereka harus menangkap orang. Biar kelihatan kerja. Biar kelihatan kalau berguna di tengah kerusuhan ini. Daripada mereka ngawur, lalu menangkap orang tidak bersalah."

Mufin membetulkan lipatan sarungnya. Tak sengaja menjatuhkan tiga bungkus rokok.

"Dari mana dapat rokok sebanyak itu?"

"Eh, anu. Ini punya preman-preman itu, Man."

Man Rusli menampar kepala Mufin dengan kopiah.

"Maleng reah! Harusnya, barusan saya serahkan kamu ke Polisi juga."

***

Karung pakan udang menumpuk di gudang. Hampir separuh ruangan. Selebihnya adalah jejeran peti kayu berisi perkakas tambak. Jaring-jaring robek yang tak layak pakai menggantung di langit-langit. Paku berkarat berceceran di lantai yang basah dan berbau amis. Roda gigi tajam dijadikn hiasan pintu, dan di atas satu-satunya bangku di ruangan itu, puntung rokok berserakan, sementara asbaknya penuh kulit kacang. Benar-benar cermin pekerjaan yang keras.

Man Rusli masuk ke gudang sambil bawa bungkusan. Mufin mengikutinya sambil menggerutu, memasukkan rokok jarahan yang tinggal dua bungkus ke dalam saku. Bisa diterka kemana satu bungkus lainnya.

EKSEKUSI TAPAL KUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang