1

5.2K 297 7
                                    

"Eyang, Pokoknya Lisa gak mau! Lisa aja gak kenal sama dia!"sentak ku marah,

Gurat kesal tampak jelas di mata ku. Tetapi Eyang biasa saja, dia masih tenang lalu tersenyum kecil, beliau mengelus kepala ku lembut. Tatapan nya sayu, matanya memancarkan kedamaian mendalam. Aku senang menatap lama lama mata Eyang. Menurutku, tanpa berbicara pun aku menemukan banyak petuah disana. Mata Eyang, mata yang selalu memantau perkembangan ku selama belasan tahun ini. Lupakan tentang mata, kita kembali fokus akan perjodohan kuno ini.

"Kalau eyang gak jodohin kamu sekarang, mungkin selamanya kamu gak nikah nikah Lisa." Aku menghela nafas, pernikahan memang menjadi hal yang paling tidak aku sukai. Entah mengapa.

"Percaya sama eyang, dia pria baik baik. Eyang sudah mengenalnya dari dia kecil, Lisa. Kalaupun nanti jika waktu eyang sudah habis di dun—

Aku tidak suka sekali jika Eyang sudah berbicara seperti itu. Seolah olah besok umurnya sudah tidak ada lagi. Bukan apa apa, aku hanya takut. Aku tidak akan siap kehilangan sosok Eyang.

"Eyang, Lisa mohon jangan ngomong gitu..." ucapku pelan, "Lisa sayang sama Eyang, cuma Eyang yang Lisa punya di dunia ini. Tapi Lisa gak mau nikah. Ini masih terlalu cepat," aku menunduk lalu menatap Eyang penuh permohonan.

"Maka dari itu Eyang jodohin kamu, Lisa. Kalau eyang meninggal, kamu gak akan sendiri di dunia ini." Aku mengerjap beberapa saat, lagi lagi Eyang berbicara seperti itu.

Pernikahan bukan lah hal yang main main. Aku tak mau pernikahan ku ini berakhir seperti paman dan bibi, tidak. Itu menakutkan sekali, membayangkan perceraian saja sudah membuatku merinding ketakutan.

"Eyang mohon, nak." Aku meneguk ludah samar, tak ada pilihan yang bagus. Aku melihat mata eyang, matanya sungguh meyakinkan kecemasan ku. Demi Tuhan ini pilihan yang menyulitkan. Aku tak ingin terjebak di dalam pernikahan tanpa cinta. Apa jadi nya hubungan itu?

Tapi, lupakan lah hal itu. Kebahagiaan Eyang adalah prioritas utamaku. Anggap saja ini secuil balasan atas segala kebaikannya selama aku hidup dengan nya.

"Yasudah, Lisa mau. Tapi Eyang harus sehat terus ya! Minum obat nya harus rutin gak boleh bolong bolong!" Eyang tertawa, lalu mengangguk antusias. Hati ku terenyuh, melihat senyum lepas dari bibir Eyang. Jadi, sekarang tidak ada cara lagi untuk mrlangkah mundur. Mana bisa aku membuat Eyang kecewa.

"Lisa ke kamar dulu ya Eyang. Ada urusan yang harus di kerjakan." Eyang mengangguk, aku mengecup dahinya lalu beranjak pergi.

✨✨✨

"Bunda mau jodohin kamu dengan cucu nya Eyang Darsono. Kamu harus mau gak boleh nolak!"

Kris, lelaki itu menampikkan ekspresi terkejut tak lama wajahnya berubah datar kembali. Seolah hal tadi hanya hal biasa, Bunda Vika yang sudah kebal akan sifat anak pertamanya itu hanya bisa menggerutu pelan.

"Memang ada pilihan lain?" Bunda Vika menggeleng pertanda memang tak ada pilihan lain selain 'iya'.

"Jadi?" tanya Bunda Vika memastikan jawaban anaknya itu, Kris hanya mengangguk. Wanita itu terlihat antusias, anak satu satunya akhirnya menikah juga! Ah tak sabar dia ingin menimang cucu.

"Kamu emang anak bunda paling top deh, Kris! Yasudah, 2 bulan lagi kamu menikah dengan Lisa." Kris mengangguk, dengan tampang datar dia beranjak meninggalkan ruang tamu.

"Dulu aku ngidam apasih sampai sampai anak itu kayak gitu?" tanya Bunda Vika dalam hati, lalu wanita itu menggeleng. Mungkin sifat suaminya menurun pada Kris. Tapi, suaminya tidak selempeng itu.

"Aish sudahlah! Yang penting dia tampan!" Ujar Bunda Vika mengakhiri segala kebingungannya.

Lalu wanita yang sudah berumur itu mengambil ponsel kekinian nya. Dan mencari sebuah nomor, bibirnya tersenyum saat sudah menemukan nomor yang dicari. Dengan cepat dia memencet tombol hijau yang ada disitu, dan tak perlu menanti lama sambungan telah diangkat,

"Halo Eyang Darso...?" sapa wanita itu,

"Ada apa?" balas Eyang Darso disana,

"Kris menerima perjodohannya! Kalau Lisa bagaimana, Eyang? Dia menerima perjodohan itu atau tidak?" ucap Bunda Vika sedikit khawatir, harap cemas jika perempuan pilihan nya itu tidak menyetujui rencana ini.

"Tenang saja, cucuku sudah menerima nya. Jadi, kita tinggal atur hari pernikahan mereka saja." Bunda Vika bernafas lega setelah mendengar pernyataan Eyang Darso.

"Mereka akan menikah 2 bulan lagi saja, bagaimana menurut Eyang?" tampak Terdengar deru nafas disana,

"Apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Eyang sedikit cemas,

"Nanti mereka berubah pikiran kalau terlalu lama Eyang. Saya tidak mau itu terjadi... Tapi saya akan menerima lapang dada kalau Eyang punya usul?" ujar Bunda Vika sembari menatap lurus pintu kamar anaknya yang sudah tertutup rapat itu.

"Tidak tidak, saya serahkan semuanya saja padamu Vika." Bunda Vika mengangguk, dan lantas tersenyum bahagia.

"Baiklah Eyang. Saya akan mengurusnya, eh saya lupa! Kalau lamaran bagusnya tanggal berapa nih eyang?" tanya Bunda Vika disisa sisa akhir penutupan sambungan.

"2 minggu lagi saja, bagaimana? Biar mereka bisa mengenal lebih dekat," ujar Eyang,

"Oh Oke baiklah, saya setuju. Ya sudah, saya tutup telepon nya ya Eyang."

"Ya."

Bunda Vika tersenyum girang. Ah tak sabar lagi rasanya melihat sang anak menikah. Karena itu merupakan kebahagian tersendiri bagi setiap orang tua.

✨✨✨

"Jadi kamu mau di jodohin sama siapa Lis?" tanya sahabat ku dari kecil itu, Rose Savitalia. Aku menggeleng, oh astaga aku lupa bertanya tentang siapa calonnya itu kepada eyang! Bodoh nya, sepertinya kebodohan sudah mendarah daging pada diriku.

"Gak tahu. Lupa nanya," ucapku lemah, Rose menggeleng.

"Moga aja cogans ya Lis, biar bisa cuci mata. Tiap bangun tidur, didepan mata udah ada suami ganteng nan enak dipandang..." Kini giliran Jiso yang menyambung pembicaraan. Aku tertawa pelan menanggapi ucapan sahabat ku itu.

"Iya kalau ganteng, kalau gak gimana? Ternyata bapak bapak otak mesum, perut bont— ah gak gak! Eyang gak akan tega nikahin aku sama model begituan," Rose, Jiso, dan Jennie kompak tertawa. Melihat ketakutan ku tadi,

"Udahlah gak usah lo pikirin, berdoa aja semoga orang yang dijodohin sama lo itu sesuai dengan apa yang lo harapkan," ujar Jennie memenangkan ku. Aku tersenyum,

"Terus kalau kamu udah nikah nanti, masih kumpul gak sama kita kita, Lis?" tanya Jiso, pemilik nama panjang Jiso Laurenzia.

"Ya kumpul lah! Lagian, dia gak ada hak buat larang larang aku ketemu sama kalian." Mereka mangut mengerti,

"Hubungan kamu sama Daniel gimana Jen?" Jennie menoleh, wajahnya seketika berubah muram. Ah, apa aku salah bicara ya?

"Entahlah, gue juga gak tahu. Akhir akhir ini dia berubah, gue ngerasa dia udah bosen sama gue," ucapnya lesu.

"Gak boleh gitu, Jen. Coba tanya sama Daniel nya dulu," balas Rose, Jennie hanya mengangguk lemah. Aku tak bisa berkata apa apa lagi. Kalau soal beginian aku tak mengerti.

"Gak berani gue. Kalau ternyata tebakan gue emang bener gimana? Gue belum sanggup pisah sama dia Rose..." Jennie mendesah lesu, perempuan itu sudah secinta itu pada kekasihnya ternyata.

"Udah udah. Jadi jomblo kayak aku aja. Seneng, damai, bebas dari kegalauan. Gak perlu ngalamin sakit hati." Kami melirik Jiso yang sedang mengemil kripik singkong itu, aku menggeleng. Diantara kami memang dia yang memiliki kelakuan seperti itu, satu lagi dia selalu bisa membuat kami semua tertawa. Melihat dia nyegir saja aku sudah sakit perut akibat terlalu kencang tertawa.

"Iyain biar seneng," balasku.

Aku melihat jam di tangan ku, sudah sore ternyata. Aku harus pulang, nanti Eyang kelaparan. Soalnya persediaan makanan tadi pagi pasti sudah habis sekarang.

Aku pun pamit izin pulang pada mereka, mereka tampak tak ikhlas karena pulang secepat itu. Tapi aku hanya beralasan ingin istriharat, lalu segera beranjak dari sana.

Hari ini sungguh sungguh melelahkan.

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang