23

1.4K 157 31
                                    

Sudah bab 23 aja ya :( gak terasa...

Maka merelakanmu adalah hadiah terburuk yang pernah kuberikan pada seseorang.

"Sakit, perut aku sakit."

Dalam keterpejaman ku, aku masih bisa mendengar rintihan kesakitan itu. Dengan perlahan ku buka mataku, ternyata aku masih di sini, di rumah sakit penuh kejadian ini.

"Kak sakit," mata Ririn sudah merah, "tolong," aku yang baru saja mengumpulkan nyawa itu segera berlari keluar, menemui dokter yang masih berjaga di pagi buta seperti ini.

Hingga aku bertemu seorang suster, "Dokternya ada?" Tanyaku padanya.

"Ada, sebentar saya panggil dulu."

Aku mengangguk, walau rasanya kaki seperti jelly. Lemah sekali. Aku tidak suka bau rumah sakit, atau apapun yang menyangkut rumah sakit. Menurutku rumah sakit adalah tempat terakhir yang tidak pernah ingin ku kunjungi, aku takut disini. Terlalu banyak jarum suntik. Menyeramkan.

Lalu Dokternya tiba, aku dan Dokter itupun dengan segera berjalan menuju ruang yang didiamkan Ririn. Aku juga tidak tahu ruang kamar nomor berapa itu.

Sampai di sana Dokter segera memeriksa keadaan Ririn, setelah itu dia menjelaskan beberapa kata tentang kesehatan Ririn. Tapi yang bisa ku pahami hanyalah kondisi janin Ririn melemah, dan harus dirawat lebih lama lagi di rumah sakit ini. Ya bagus, dari pada dia pulang cepet cepet kan kasihan juga tidak ada yang merawatnya pikirku.

"Makasih banyak kak," Ririn tiba tiba menangis, "a ...aku minta maaf." Lho kenapa gadis itu harus minta maaf, memangnya dia salah apa?

"Kenapa harus minta maaf Rin? kamu itu udah aku anggap adik aku sendiri. Kalau ada apa apa gak usah sungkan, bilang aku aja." Dia mengangguk,

"Maaf ngerepotin kakak, karena keadaan aku yang gak berguna ini."

"Sudah berapa kali aku bilang, kamu itu berharga. Gak perduli seberapa kotornya kamu, seberapa hina nya kamu dimata orang orang. Inget aja, gak ada manusia yang gak luput dari dosa, sayang."

Sayangnya gadis itu keburu menangis, entah ingat akan dosanya, atau karena kejadian ini.

Jangan tanyakan padaku. Karena aku pun tak tahu jawabannya, ditambah lagi mataku rasanya seperti ada lem. Ingin sekali merekat kembali, aku mengantuk. Aku tahu, itu memang tidak nyambung. Yasudahlah, aku memilih tidur saja di lantai rumah sakit yang beralaskan tikar lumayan tebal itu. Sebenarnya aku ingin tidur di sofa, tapi aku ingin mencoba tidur disini. Siapa tahu enak.

✨✨✨

"Ibu mohon Rin, bilang sama ibu siapa ayah bayi kamu itu."

Aku baru saja pulang dari kantin rumah sakit, untuk mengisi perut yang sudah keroncongan minta di isi. Ternyata saat hendak membuka pintu ruang kamar Ririn, aku tak sengaja mendengar percakapan ibu dan anak itu. Ah, mungkin mereka butuh privasi. Aku lebih baik duduk diluar saja.

Aku belum mandi, sama sekali belum mandi. Entah sudah seberantakan apa keadaan ku sekarang. Aku ingin menelpon Kris sebenarnya, ingin bertanya kemana lelaki itu pergi. Namun, sudah ku periksa keseluruh bagian baju, celana maupun tas ku, aku tidak menemukan keberadaan ponselku.

Aku menepuk jidat, aku kan meletakkannya di atas meja makan. Ya Tuhan, bodoh sekali hamba mu ini.

Aku tersentak karena tiba tiba pintu ruangan Ririn terbuka, tak lama muncul lah Bi Maryam yang terlihat sangat takut.

"Ada apa bi?" Tanyaku yang tidak tahu apa apa itu.

"R ... ririn, Ririn kabur." Aku membelak, jadi sekarang ada acara kabur kaburan seperti kisah di televisi yang sering Jiso tonton itu ya?

Ya Tuhan, aku merindukan teman temanku. Sudah lama rasanya aku tak bertemu mereka lagi.

"Astaga, Ririn kan kabur!"

Aku segera berlari, yang jelas aku melihat Bi Maryam berlari kearah timur jadi aku ikut saja. Sampai disana, aku mengambil nafas sebanyak banyaknya. Ngapain sih mereka sampai keatas gedung ini? Mau ngapain? Ada apa?

Namun seketika, mataku membelak begitu lebar. Ririn sudah di ujung sana. Satu langkah saja kakinya melangkah, maka habislah sudah. Aku menutup mulutku, terkejut atas kejadian yang bertimpah timpah ini. Sedangkan Bi Maryam sudah menangis histeris disana, memohon agar anaknya tidak melakukan hak gila itu. Dari sini, bisa kulihat keramaian orang orang di bawah sana. Mereka memegang ponsel masing masing, siap merekam kejadian yang sepatutnya tak layak untuk direkam.

Bahkan, dalam hitungan detik keramaian mendominasi kejadian ini. Aku bahkan tertutupi oleh orang orang yang baru masuk.

"Ririn jangan nak,"

Bi Maryam bahkan sudah terduduk disana, aku semakin mendekatkan diri kearah mereka. Tidak perduli lagi jika wajah ku akan terpampang keberbagai media karena ikut turut serta dalam kejadian ini.

"Rin, aku selalu siap dengerin semua keluh kesah kamu, kita semua sayang kamu. Mundur ya, jangan maju lagi. Kita selesain ini baik baik aja, aku janji ibu kamu gak akan buat kamu tertekan lagi."

Dan berhasil, akhirnya gadis itu memundurkan tubuhnya lagi. Aku menghela nafas panjang, dosa apa aku sampai mendapatkan kejadian seperti ini. Tapi, melihat keadaan Ririn aku mencoba bersabar lagi. Gadis itu masih butuh pendampingnya, kalau bukan aku dan Bi Maryam siapalagi yang akan menolongnya dari lubang besar yang kapan saja siap menelannya hidup hidup.

Satu jam kemudian, Ririn sudah di ruangannya kembali. Aku menyuapinya bubur yang baru saja diberikan oleh suster. Kalau saja tidak kupaksa, mungkin Ririn tidak akan pernah makan. Gadis itu bahkan menutup mulutnya selama satu jam tadi.

"Kasihan bayi kamu kalau ibunya gak makan. Nanti di dalam perut dia gak makan apa apa gimana? Kalau dia lapar gimana?" Aku tahu, Ririn masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Mentalnya belum siap, ditambah dia hamil tanpa pendamping alias suaminya.

"Biarin aja kak, biar dia mati sekalian." Aku memberhentikan gerakan ku, aku tidak pernah suka orang yang seperti ini.

Yang mau berbuat, tapi gak mau bertanggung jawab.

"Itu resiko kamu, bukannya aku mau nyalahin kamu. Tapi cobalah mengerti keadaan Rin, mau gimana pun yang sudah terjadi tetaplah terjadi."

"Tapi ini gak bisa dingertiin kak!" Sentaknya, aku memilih tersenyum saja. Mungkin omongan ku terlalu menekannya.

Bi Maryam datang setelah izin beberapa saat entah kemana itu.

Ririn tiba tiba berujar, "aku gak masalah buat bilangin siapa ayah bayi ini, tapi kalian harus janji untuk gak akan marah kalau tahu siapa orangnya."

Aku diam, pikiran ku mulai mengarah kemana mana. Untuk tenang pun rasanya tidak bisa. Untuk berusaha meyakinkan diri bahwa yang kupikirkan itu pasti tidak benar saja rasanya sangat sulit. Ku lirik Bi Maryam, namun wanita itu biasa saja. Seolah memang menantikan jawaban dari Ririn.

"Siapa?"

"Kak Kris, dialah bajingan yang sudah membuat anak ini hadir kedunia."

Aku merasakan seluruh isi bumi meluruh ketubuhku. Bahkan untuk menangis pun aku tidak bisa. Ternyata dugaanku benar. Ternyata Kris tidak sebaik yang Eyang bicarakan, lelaki itu sama saja dengan yang lainnya. Aku meluruh kelantai, bahkan untuk bernafas pun terasa sangat menyakitkan.

Tuhan, bunuh saja aku sekarang.

✨✨✨

An :

☹️☹️☹️☹️☹️☹️☹️☹️

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang