36

1.3K 127 9
                                    

Aku, kamu, kita- adalah semua rasa yang ada di dunia. Kalian, kalian dunia ku, semestaku.

"Oleh oleh untuk Bunda ada gak?"

Baru saja aku hendak memejamkan mata di atas sofa biru tua ini, teriakan dari Bunda membuatku harus menghentikannya dan menghela nafas panjang. Kris? Lelaki itu sudah lebih dulu kembali ke kantornya untuk mengurusi masalah itu lebih dalam.

"Itu bunda, aku gak beli yang aneh aneh. Soalnya ya gitu," aku menjawab seadanya, tubuhku benar benar ambruk rasanya. Lelah sekali. Seminggu berada di sana rasanya tidak ada istirahat. Hari hari pertama mengalami kejadian mengerikan, hari hari terakhir hanya di isi dengan jalan jalan menikmati keindahan kota itu dan ya banyak lagi.

Bunda duduk di sampingku, rasanya membuka mata saja aku malas. Tak lama beliau berteriak histeris sembari menyuruhku bangun,

"Ini lengan kamu kenapa?!" Aku tersenyum, lalu duduk tegak mengabaikan rasa kantuk ku yang sudah di ujung mata itu.

"Gak apa apa, udah sembuh kok." Bunda menggeleng tegas,

"Ayo kerumah sakit lagi! Kita periksa, bunda gak mau mantu kesayangan bunda kenapa napa!" Dia menarik tangan ku,

"Bunda aku udah gak papa, beneran deh." Aku melepas pelan cekalan tangannya dan tersenyum singkat.

"Siapa yang ngelakuin nya?"

"Citra."

Mata Bunda membelak kaget, lalu ekspresi kesal nampak jelas dimatanya. Dia lalu menatap ku dengan api amarah yang menggebu gebu di matanya.

"Itu anak gak pernah berubah, dari dulu ngejar ngejar anak aku. Maunya apa sih?" Aku menggeleng,

"Gak tahu Bunda."

"Bunda gak nanya kamu kok,"

Aku kembali memejamkan mata, "eh tunggu tunggu, oleh olehnya udah jadi belum?" Aku mendesah lesu, tanpa perlu membuka mata lagi. Serius mata ku sudah sangat berat.

"Itu di atas meja." Bunda memukul pelan kakiku.

"Bukan yang itu!"

"Bunda, terus apa dong?" Lirihku di tengah tengah dunia ingin memasuki alam mimpi namun di hadang oleh wanita di sampingku ini.

"Cucu."

Aku kembali terbatuk batuk, lalu bunda segera memberikan ku segelas air putih.

"Belum Tuhan kasih bun," lalu aku benar benar terlelap.

✨✨✨

"Saya gagal bun, saya gagal mempertahankan perusahaan musik itu."

Aku tertegun, mataku membatu pada dua orang yang berada di dapur itu. Keduanya sama sama terlihat tak baik baik saja. Bahkan gelas yang ada dk genggaman bunda itu pun meluruh kelantai, pecah sekaligus tumpah secara bersamaan. Tak lama Bunda memeluk anak semata wayangnya itu, dan menangis.

"Gak apa apa. Ini bukan akhir segala nya sayang,"

Aku segera melangkah kembali, sampai disana keduanya sontak melepas peluk. Bunda sekarang lebih memilih duduk di kursi makan. Aku pun ikut juga, duduk disana tidak tahu ingin melakukan apa.

"Tapi, kok bisa tiba tiba gitu?"

"Pria itu, dia bekerja sama dengan salah satu pegawai saya untuk mencurangi saya. Dan sekarang kita memiliki hutang amat besar akibat mereka. Bahkan satu perusahaan itu sendiri tak cukup untuk menutupinya."

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang