14

1.7K 179 1
                                    

Author POV.

Lagu mengalun all i want milik Kodaline mengalun merdu didalam mobil yang di duduki Kris dan Lisa ini. Kedua orang itu sibuk dengan pikirannya masing masing, maka kesunyian pun mengambil alih. Kris memang tabiatnya begitu, sedang Lisa sudah bingung bagaimana cara membuka percakapan. Karena, Kris lebih dingin dari biasanya. Lebih mengerikan tepatnya.

Kesunyian itu berkelanjutan hingga mereka tiba di rumah. Yang berarti sudah hampir setengah jam. Lisa pun sudah malas, dia ingin Kris yang memulai. Dia ingin Kris yang mengerti dirinya, bukan dirinya saja yang harus mengerti lelaki itu. Egois sekali!

Lisa melewati begitu saja lelaki yang kini sudah terduduk letih di atas sofa itu. Tiba tiba Kris mencekal tangannya, Lisa menoleh lalu mengangkat satu alisnya pertanda bertanya.

"Duduk."

Tanpa membalas ucapan sang suami Lisa segera duduk di sofa. Walau begitu wajahnya masih sok sok datar, padahal dia ingin sekali mengomel. Sedang lelaki yang menyuruhnya duduk tadi, masih tak berbicara. Lisa sudah lelah, menunggu lelaki itu peka sama saja dengan menunggu batu mencair. Mau tak mau dia harus kembali merelakan egonya.

"Bisa gak sih kamu itu jangan cuek cuek banget!" Lisa menggerutu sembari menyilang kedua tangannya diatas dada. Matanya menatapbKris kesal, sedang Kris menampilkan wajah tak berdosanya.

"Bisa."

"Bisa apanya! Kalau ngomong panjang juga bisa diitung. Capek tahu gak aku tuh," ujar Lisa.

"Saya laper," ucap Kris mengeluh lapar. Tangannya mengusap ngusap perut yang terdengar keroncongan itu. Mau tak mau bibir Lisa menyungingkan senyum tipis. Tapi tak boleh! Dia harus memberi pelajara dulu lelaki itu.

"Terus? Kalau laper emangnya kenapa?" Kris mengerjap beberapa kali. Demi apapun Lisa tak kuat, jiwa Krisvernya kembali membara saat melihat itu. Tetapi Lisa menggeleng, dia sudah jauh.

"Lisa saya beneran laper," Kris menunjukan wajah memprihatinkan nya.

"Saya juga tidak bilang anda bohong Kris," ujar Lisa membalas ucapan Kris dengan bahasa formal.

Bilang lah kelakuan Lisa itu seperti anak anak. Tetapi, ini juga demi kebaikannya dan hatinya. Siapa sih yang mau terus terusan memulai? Siapa sih yang mau terus terusan berjuang sendirian? Manusia punya batas. Contohnya batas kesabaran.

"Yasudah. Saya akan ngomong panjang. Sekarang buatkan saya makanan."

Lisa maju, mendekatkan diri kearah suaminya itu. Perempuan ah tidak sekarang dia sudah jadi wanita. Wanita itu tersenyum penuh sesuatu.

"Kasihan banget muka laper nya. Padahal udah makan di tempat tadi, kamu ini Kris. "

Lisa segera berdiri dari tempat duduknya. Menuju dapur untuk membuat lelaki itu makanan. Tetapi yang ada di kulkas hanya kornet sapi saja.

"Kris, dikulkas cuma ada kornet! Kamu mau?!" teriak Lisa di dapur, tetapi tak ada jawaban. Lisa menghembuskan nafas lelah,

Tak mau ambil pusing, wanita itu segera memasak bahan yang ada. Terserah suaminya saja lah mau suka mau tidak.

✨✨✨

"Ya Tuhan, dia malah tidur."

Wajah Lisa sudah pias saat melihat Kris tertidur indah di sofa itu. Dia tidur dalam posisi duduk, dan gaya tidur lelaki itu pun sangat kharismatik. Jauh berbeda dengan dirinya. Sesaat kemudian, Lisa bingung sendiri mau membangunkan atau membiarkan saja lelaki itu tidur.

Hingga sebuah gerakan ringan dari lelaki itu membuat matanya juga terbuka. Lucu, bangun tidur pun Kris tetap tampan.

"Makanannya sudah jadi, maaf membuatmu menunggu." Kris memejamkan matanya sesaat lalu berdiri,

"Ayo makan." Lisa memandang Kris bingung, lalu Kris segera menarik tangan wanita itu agar mengikuti nya.
"Tapi aku mau mandi. Badan aku rasanya lengket semua,"

"Temani saya dulu." Lisa menarik nafas dalam dalam, lalu mau tak mau wanita itu menurut. Kris mengacak ngacak poni Lisa. Dengan wajah kesal, Lisa menyentak tamgan lelaki itu.

"Astaga! Kenapa makin nyebelin sih?!" Kris masih datar, "udah cepetan! Makan sana, aku tungguin."

Kris duduk di kursi itu tanpa gerakan. Lis menghembuskan nafasnya, lalu mengatakan ngacak rambutnya. Tangan wanita itu segera mengambil nasi beserta lauk lauknya dengan gerakan cepat. Lalu menyerahkannya kepada Kris.

"Kalau Krisver tahu idolanya kayak gini mungkin mereka pada bubar semua, Kris!" Kris tak memperdulikan, lelaki itu sudah sibuk dengan makanan nya. Lisa mengelus dadanya beberapa kali, mencoba bersabar dengan segala sifat Kris.

"Yaudah, selamat makan." Lisa meletakan kepalanya di meja makan, lalu mulai melelapkan mata. Lebih baik dia tidur dari pada memperhatikan lelaki kutub yang berstatus suaminya itu.

✨✨✨

Lisa meronta ronta, menangis histeris dipelukan pria itu. Gadis yang baru saja menginjak umur belasan tahun itu, tidak menerima kejahatan takdir yang menimpahnya.

"Lisa, kamu bikin Eyang sesak. Jangan nangis ya sayang, cobalah memahami takdir." Lisa masih histeris. Tubuh kurusnya meronta ronta ingin membunuh dua orang itu.

"Eyang, dia bunuh ibu! Dia bunuh ayah! Dia iblis. Dia iblis Eyang!" Lisa memandang marah kedua suami istri yang ada didepannya. Kedua manusia yang di tunjuk tunjuk Lisa hanya bisa menunduk,

"Eyang tahu kamu masih gak nerima kematian orang tua mu, tapi jangan menyalahkan orang yang tidak tahu apa apa, Lisa."

Lisa melemah, tubuhnya terasa seperti jelly. Bahkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa kedua manusia itu dengan tega membunuh orang tuanya. Tetapi Eyang tidak mempercayainya. Eyang sama saja dengan pembunuh itu. Sama jahatnya!

"Lisa gak sejahat itu. Tapi itu memang kenyataannya. Mereka bunuh ibu dan ayah Lisa. Dan, Eyang malah gak pecaya cucu Eyang sendiri."

Lisa berhenti menangis, pandangan gadis itu seolah berputar putar. Banyak kenangan, memori, lalu bayangan hitam yang semakin lama semakin pekat dan membesar hingga membuatnya luluh lantak, terjatuh diatas lantai semen rumah yang baru saja kehilangan penunggunya.

"Lisa, sadar!"

Mata Lisa terbuka cepat, bisa dia rasa ada air mata di pipinya. Nafasnya memburu hebat, seperti baru saja berlari beratus ratus kilometer. Disampingnya ada Kris yang memandang wanita itu dengan cemas, walau terlihat sedikit. Cemas itu tertutupi oleh wajah dingin dan datarnya.

"Kamu kenapa?" tanya Kris, "mimpi buruk?" lanjut pria itu.

Lisa mengangguk, "iya. Mimpi itu datang lagi," Lisa kembali menangis.

Dia tidak ingin mengingat semua yang lalu. Dia tidak ingin apapun yang terjadi dulu seolah mengulang lagi hari ini. Tidak tidak. Yang lalu biar lah berlalu, biar semua yang dulu layaknya kubangan hitam yang harus Lisa tambun dengan segala kepalsuan yang ada agar tak nampak. Dan sekarang, setelah luka itu hampir kering, kenangan itu muncul kembali. Ingin membasahi lagi luka luka yang sudah hampir sembuh.

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang