31

1.6K 150 6
                                    

Mungkin suatu saat nanti kau temukan bahagia meski tak bersamaku, bila nanti kau tak kembali.... kenanglah aku sepanjang hidupmu. -Kenanglah aku.

"Bunda selalu doain yang terbaik untuk kalian, semoga Allah selalu melindungi kalian dimana pun kalian berada ya."

Bunda langsung memeluk ku, lalu membisikkan sesuatu yang membuat darahku terasa naik ke atas. Aku pun spontan menatap Kris yang sedang membereskan tas tas kami itu. Namun boro boro menoleh ke arahku, lelaki itu pura pura tak mengubris padahal dia tahu apa yang selalu di inginkan bundanya saat kami akan pergi.

"Bunda gak mau tahu, pokoknya kalau kamu pulang harus ada yang mengisi perut kamu!"

Aku hanya tersenyum canggung, bunda kira kami disana bersenang senang? Jelas saja lah tidak, tapi doakan saja yang terbaik. Aku pun tidak tahu apa yang akan terjadi di detik detik berikutnya. Namun memiliki anak? Apa aku bisa memegang tanggung jawab sebesar itu? Rasanya terlalu... aku, aku belum siap.

"Bunda jangan keluar rumah dulu, dia itu manusia licik. Dia bisa saja menggunakan kelemahan saya untuk kembali beraksi," ujar Kris sembari menaiki tas kedalam mobil,

Aku terdiam sesaat, jadi kelemahan dia adalah keluarganya sendiri? Ah jadi aku kelemahan nya juga ya? Aku senyum senyum sendiri, lalu menatapnya yang sudah menatapku aneh. Aku nyengir kuda, malu sendiri karena sudah berfikir seperti itu.

"Kamu kalau belum sehat lebih baik tidak usah ikut deh,"

"Kamu ngatain aku gila?!"

Kris menaikkan alisnya, "kapan saya ngatain kamu gila?"

"Udahlah lupain aja! Ayo cepetan," ujarku menghentikan kelakuan ku yang membuatku malu sendiri ini.

✨✨✨

"Lisa tetap waspada. Jangan hilang dari jangkauan saya,"

Aku enggan melihat wajahnya, bukan apa apa. Aku malu sekali, kejadian tadi seolah membuat wajahku lari kemana mana sekarang. Namun, aku mencoba bersikap biasa biasa saja. Lagian dia suamiku, kenapa aku harus malu? Ah iya juga ya, aku baru berpikir kesana.

Tangannya mengggengam jemariku erat, samping kiri, kanan, depan, belakang sudah banyak sekali penjaga berpakaian formal yang menjaga kami, aku kesulitan bernafas rasanya. Aku pengap, ditambah lagi karena masker hitam yang menutupi hidung ku ini. Seolah olah aku ini orang berharga di dunia saja, hingga dikawal banyak penjaga seperti ini.

"Ada apa?" Tanyanya saat aku melepas paksa genggaman itu, demi Tuhan rasanya aku tidak kuat lagi dengan semua ini. Aku pengap. Benar benar sesak.

"Aku mau pipis, udah kebelet nih."

Kris berdecak pelan, "saya tunggu disini, jangan lama lama kita akan segera berangkat," ujarnya. Aku mengangguk cepat. Lalu Kris terlihat menyuruh tiga penjaganya untuk mengikutiku, astaga. Aku melakukan ini karena ingin bebas dari mereka! Tapi aku memang ingin buang air kecil, akibat gugup bercampur takut.

"Udah kalian tunggu disini aja!" Sentakku.

Aku segera masuk kedalam, lalu menghembuskan nafas lega. Asma ku kambuh di saat yang tidak tepat. Untung saja aku membawa alatnya, jika tidak ah sudahlah. Tapi belakangan ini, asma ku tidak pernah kambuh. Namun mengapa sekarang kambuh lagi ya? Apa mungkin karena daya tahan tubuhku semakin melemah karena terlalu banyak berpikir dan menangis?

Aku menggeleng, dengan cepat aku membasuhi wajah dengan air keran. Tiba tiba aku merasa ada yang bergetar di saku celana jeans yang ku pakai, lalu dengan segera aku memeriksanya. Lalu aku segera mengambilnya dan ternyata itu telepon dari Ririn.

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang