Meletakkan hati pada dirimu itu sama saja dengan menelan bom hidup hidup. Sudah dipastikan bukan bagaimana akhirnya nanti?
"Tidak."
Lalu Kris melangkah kembali, meninggalkan ku yang seketika merasa kecewa itu. Aish! Apa yang ku harapkan sih? Cemburu hanya untuk mereka yang saling mencintai, sedangkan kami berdua? Aku tertawa miris dalam hati, kata 'cinta' terasa begitu jauh diantara kami lebih tepatnya lelaki itu. Dan pil pahit itu harus ku telan dalam dalam.
Terseok seok aku melangkah kembali.
Menyusulnya yang sudah berada jauh didepan sana. Dan sampai aku sudah berada disamping lelaki itu. Kami berdua pun memasuki lift, Kris masih diam entah apa yang membuatnya begitu."Kris," ucapku agar kesunyian tak membunuhku. Lelaki itu berdehem,
"Ajak aku ngobrol atau apa gitu,"
"Memangnya mau ngomong apa, Lisa?" Aku berdecak,
"Udahlah lupain." Kris tersenyum tipis. Bahkan tidak bisa diartikan sebagai senyuman. Hanya tarikan disudut bibirnya saja. Lalu tangan lelaki itu mengusap ngusap kepalaku,
Sontak saja aku menoleh kearahnya. Tapi Kris masih fokus memandang kearah pintu keluar.Ting...
Pintu lift terbuka, aku dan Kris pun keluar. Aku berusaha menyamai langkahnya, dan lelaki itu seperti memperlambat langkahnya agar aku tidak tertinggal. Aku menunduk, perhatian biasa yang bisa membuatku tersenyum.
Tak lama, kami berhenti di sebuah ruangan tembus pandang, yang dibatasi kaca kaca besar. Didalam ruangan itu banyak sekali alat alat musik, aku cukup kagum.
"Ngapain kita kesini," dia menoleh, lalu tak menjawab. "Ini apa namanya Kris?" tanyaku sembari memegang benda itu, alat musik yang berada di dekat pintu masuk.
"Biola. Itu saja kamu tidak tahu."
Aku cengengesan,"Hehehe." Lalu Kris berjalan ke pojok ruangan, entah apa yang akan dilakukannya disitu.
Lalu, dibukanya sebuah kain yang menggantung disana, terpampanglah sebuah pintu kayu. Aku mengerenyit, pintu kemana itu?
"Ayo," ajaknya, aku pun mengangguk dan menyusul Kris yang sudah masuk kedalam.
"Ini ruangan pribadi saya,"
"Lho bukannya di-
"Iya, ada dua. Ini ruangan memang hanya saya dan orang tertentu yang boleh masuk." Aku mangut mangut,
"Jadi aku termasuk orang tertentu ya Kris?" aku mengerjap ngerjap di depannya. Kris menggeleng sembari tersenyum. Ya Tuhan sudah berapa kali hari ini dia tersenyum.
Lalu dia duduk di kursi yang tersedia disana, diletakkannya tas yang dipegangnya sendari tadi itu. Aku tak perduli itu, aku sibuk mengamati pemandangan kota dibawah sana yang diisi oleh kemacetan yang tak kunjung henti. Sebenarnya aku takut melihat kebawah sana, pemandangan dibawah sana hanya dibatasi dinding kaca tebal.
Aku sudah lelah berdiri kini berbalik kembali, kulihat Kris sedang sibuk dengan laptopnya. Lalu bagaimana dengan ku? Apa aku hanya berdiam disini saja? Tidak ada teman ngobrol? Tidak ada makanan? Ti-
"Nyalakan saja televisinya kalau kamu bosan," Aku menoleh, tetapi lelaki itu masih fokus akan laptopnya.
"Mana remotnya," tanyaku balik."Tak jauh darimu," aku mengamati sekeliling, dan mataku berhenti pada kotak aluminium yang berisi berbagai macam remot. Ada remot tv, ac, dan banyak lagi. Aku Tidak tahu apa lainnya.
Setelah itu, aku sibuk dengan duniaku sendiri. Sesekali aku mengumpat pelan saat melihat peran antagonis di film itu, lalu menangis sendiri saat melihat peran protogonis yang tersiksa dan teraniyaya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Say Something!
Romansa•Mengungkap rasa tak selalu dengan bicara• Mengapa eyang harus menjodohkan ku dengan selebritis yang sedang naik daun itu? Dia lelaki sombong, angkuh, dan beku. bicara saja tak mau! gimana mau bangun rumah tangga? -Lalisa Valleria. ...