Seribu yang datang tidak akan sama seperti satu yang telah pergi. -Unknown.
Bintangnya jangan lupa ya ❤️
Tanah itu kembali basah oleh derasnya air hujan yang membasahi bumi. Ditambah lagi air mata ku yang sedari tadi enggan berhenti. Apa semesta tidak kasihan pada Eyang, dia pasti kedinginan disana. Aku tidak menyukai hujan, tidak akan pernah suka. Hujan selalu saja membawa kegelapan bagi langit. Hujan membuat perasaan asing kerap datang menghampiriku. Perasaan kosong yang seolah membunuh ku secara perlahan, menikamku hingga dada ku terasa sangat sakit.
"Tuhan bukan ini, bukan seperti ini cara membunuhku."
Pentir menyambar, walau begitu aku tetap ingin berdiri disini. Disamping makam Eyang yang sudah dua jam tertimbun tanah itu. Dan sudah selama itu pula, aku membiarkan tubuhku di selimuti dinginya hujan.
Semesta benar benar jahat. Semesta benar benar tidak memiliki belas kasihan padaku. Apa semesta kira aku sekuat itu? Apa semesta kira aku tidak punya hati. Kata Eyang Tuhan baik, tapi nyatanya Tuhan mengambil orang yang paling ku sayang di dunia ini. Lalu, dimana? Dimana letak kebaikannya? Aku kembali menangis, perkataan ku sudah di luar akal dan tidak lagi bermoral. Maafkan aku, aku selalu saja menjadi hamba yang tidak pernah bersyukur.
"Eyang beneran ninggalin aku ya?" lirih ku, "Eyang gak ada niatan lagi buat pulang? Tapi kayaknya lebih seru disana deh, dunia gak enak soalnya." Angin berhembus kencang,
Seluruh tubuhku terasa membeku karena angin meniup badan yang sudah basah semua karena hujan. Tidak, bukannya tidak ada yang perduli padaku namun aku lah yang ingin seperti ini jika mereka melarang, maka aku akan melakukan hal lebih gila dari ini. Omong omong Aku memang sudah gila.
"Eyang gak usah sedih, aku juga dingin kok. Eyang gak sendiri, kita sama sama kedinginan ya."
Aku memeluk tubuh ku sendiri dengan kedua tangan ku. Angin kembali berhembus kencang, rasa dinginnya kembali menusuk tulang. Tidak apa apa, ini tidak sebanding dengan rasa dingin di hati ku saat ini.
Aku pernah bermimpi kehilangan Eyang, dalam mimpi itu aku benar benar menangis tanpa kenal waktu, sampai sampai eyang membangunkan ku karena terlambat ke sekolah. Lalu yang ku rasakan saat membuka mata adalah, mataku sudah basah oleh air mata. Dan saat itu, aku hanya berharap kejadiaan di mimpi ku itu tidak akan pernah terjadi. Namun nyantanya, semesta mengabulkan hal yang tidak ku mintai.
Aku bukannya ingin menyalahkan takdir. Tapi, tapi ini, ini terlalu menyakitkan. Semesta seolah tak memberiku ruang lagi untuk bernafas, menghirup udara bahagia. Selalu saja duka. Ibu, ayah, Kris, dan Eyang semuanya pergi. Semuanya tidak ada yang perduli padaku. Kalau mereka perduli, mereka akan selalu menemaniku sampai semesta memanggilku kembali padanya.
Aku lelah sekali, tubuh ku terasa remuk semua. Dan setelahnya aku memilih terpejam di samping makam Eyang. Menghentikan duka sebentar dengan tidak merasakan apa apa selain kegelapan di dalam mimpi. Jujur saja dunia mimpi dan dunia nyata ku tidak ada yang menarik.
✨✨✨
"Gimana Za? Anak saya gak apa apa?" Samar samar aku mendengar suara seorang wanita, yang bisa ku tebak pasti itu suara bunda.
"Dia baik, walau tubuhnya butuh istirahat total karena terlalu kelelahan. Ditambah lagi, kehujanan selama beberapa jam itu. Aku saranin sih jangan ngelakuin hal hal berat dulu,"
"Ya Ampun anak Bunda, yaudah Za makasih ya."
Aku membuka mata saat orang yang dipanggil bunda 'Za' itu terdengar melangkah menjauhi tempatku tertidur ini. Bunda menatapku khawatir,

KAMU SEDANG MEMBACA
Say Something!
Romance•Mengungkap rasa tak selalu dengan bicara• Mengapa eyang harus menjodohkan ku dengan selebritis yang sedang naik daun itu? Dia lelaki sombong, angkuh, dan beku. bicara saja tak mau! gimana mau bangun rumah tangga? -Lalisa Valleria. ...