27

1.4K 162 16
                                    

Jangan lupa klik bintang nya ya! 💞

Jantung ku berpacu cepat, yang ada dipikiran ku saat ini hanyalah menyalahkan diriku sendiri. Menyalahkan kebodohan ku yang sudah membuat wanita itu terluka. Tidak, aku tidak akan mencari pembenaran, karena memang aku yang salah. Aku yang bodoh, mengapa aku tidak melawan atau bereaksi saat Kris melakukan itu.

"Aku gak pantas disini, aku salah. Ini bukan salah kak Lisa, aku yang bodoh! Kalau aku gak minta pertanggung jawabannya dulu, mana mungkin aku tersiksa seperti ini. Kak Lisa hanya menjalankan perannya, tapi dengan tidak tahu dirinya, aku malah cemburu."

Terdengar suara tangis tertahan (lagi) di dalam kamar ini. Aku terduduk, mataku berkaca kaca. Mengapa harus ada hubungan seperti ini. Terlalu rumit, seperti benang kusut yang aku sendiri pun tidak tahu lagi bagaimana cara membenarkannya. Kami bertiga sama sama bertarung melawan diri sendiri, melawan ego yang sama sama tak ingin disalahkan.

Kris berdiri disana, entah sudah berapa lama. Aku menatapnya dengan air mata yang mengenang di pelupuk mata. Dia berdiam disana, membatu seolah pikirannya pergi kemana mana. Aku tahu, banyak yang ingin dikatakannya, namun karena melihatku dalam kondisi seperti ini. Mau tak mau, dia hanya bisa diam.

"Kamu dengar apa yang dia katakan Kris?" Lelaki itu mengangguk, "penyebab semua kekacauan itu kamu! Kamu yang buat semuanya jadi rumit. Kamu yang buat aku serba salah dalam bersikap. Udah aku bilang berkali kali Kris, di dalam perutnya ada anak kalian! Gak seharusnya kamu perlakuin dia kayak gitu. Selama ini, dia selalu jadi pihak tersakiti, karena perlakuan bejat mu itu!"

"Satu lagi, ini peringatan buat kamu! Sebelum anak itu benar benar lahir, anggap kamu gak pernah kenal aku,"

Aku berdiri, mengatur tubuh agar tetap seimbang dalam melewati masa masa seperti ini.

"Aku pulang."

✨✨✨

Saat aku baru saja memasuki rumah, terlihat perempuan kuncir satu andalannya duduk di atas sofa sembari menyantap cemilan yang tersedia di ruang tengah rumah ini. Dia menatapku sembari menyengir lebar,

"Jennie?!" Aku memeluknya erat, "kenapa gak bilang bilang kalau mau kesini, kan bisa aku jemput!" Dia menunjukan cengiran khasnya.

"Kalau gue bilang, gak suprise dong! Eh eh tunggu dulu, ini kenapa lo tambah kurus? Kenapa lo jadi beda gini? Dan suami lo mana?"

Aku tersenyum kecil, "bisa gak, gak usah ngomongin dia dulu? Mending kita cerita cerita yang lainnya aja ya."

Jennie menatapku penuh selidik, " gak, gak bisa! Lo harus jelasin pokoknya! Gini ya, gue dari dulu tu gak pernah suka lihat sahabat sahabat gue menderita, apalagi sampai ngalamin perubahan kayak gini! Lisa dengerin gue," Jennie menarik pundak ku untuk menatapnya,

"Ada apa?" Tanya nya lagi.

Aku menghela nafas lalu menceritakan semuanya tanpa ku kurang kurangi atau ku tambah tambahi. Reaksi Jennie seperti dugaan ku, gadis itu tidak akan biasa saja saat aku dan sahabatnya yang lain diperlakukan seperti ini. Dan itu lah sebabnya aku tidak ingin menceritakan ini.

"Bangsat! Dan lagian kenapa juga lo mau mau aja diperlakuin kayak gitu? Ngebiarin mereka nikah dan lo yang ngalah! Itu namanya kebodohan Lisa, gak bisa! Gue gak rela,"

"Jennie udah deh, gak usah macem macem aku gak apa apa. Kan udah aku peringatin dari awal juga."

Jennie menatapku kesal. Aku tahu banyak yang di tumpahkannya namun mataku sudah menatapnya tajam.

"Iya, gue gak akan macem macem! Paling satu macem doang,"

"Macemin siapa? Kalau Ririn, dia gak sejahat yang kamu kira. Perempuan itu gak tahu apa apa, dia cuma korban perilaku kurang ajar suami aku. Jangan kamu apa apain!"

Jennie memutar bola mata malas, "lo mah dari SMA gak pernah berubah Lis. Yang lo sangka baik belum tentu beneran baik. Di dunia ini manusia punya banyak topeng untuk nutupin kebusukannya, dan otak suci lo masih dangkal. Belum bisa mencerna apa pun yang bakal terjadi kedepannya."

Entahlah, aku juga merasa kedepannya hidupku jauh dari kata baik baik saja.

✨✨✨

"Aksa?!"

Lalu Jennie dan Aksa pun saling melepas rindu masing masing. Dan seperti biasa jika dua orang sudah lama tidak bertemu, lalu dipertemukan kembali maka tentu saja yang disampingnya akan terlupakan.

"Badan lo tambah berisi aja Ni,"

Nini, panggilan akrab untuk Jennie. Jennie memukul kepala Aksa, wajahnya berubah cemberut.

"Ya bagus dong! Gak kayak lo, makin krempeng aja. Udah kayak lidi gitu,"

"Si kampret, badan gue kayak agung hercules gini lo bilang kayak lidi, mata lo silinder ya?"

"Enak aja!"

Aku tidak perduli pada perdebatan perdebatan kedua orang itu selanjutnya. Yang ku lakukan sekarang ini hanya duduk diam, menikmati orang yang lalu lalang keluar masuk kafe ini, dan meminum jus melon yang baru saja datang itu.

Kadang, sepi dalam keramaian adalah hal yang menyeramkan. Isi kepalaku memakan habis suara bising di kafe ini. Hanya aku, aku dan pikiran ku.

"Lisa!" Aku tersentak, "dari mana tuh larinya pikiran lo? Dari tadi di panggilin gak respon respon," ujar Jennie.

"Gak, cuma mikir gimana hidup aku kedepannya doang."

"Uluh uluh sini peluk dulu," Jennie menarik ku dalam pelukannya. Aku hanya menuruti tanpa berkomentar apa apa.

"Kayak bocah SD aja lo berdua," Aksa yang malah berkomentar,

"Bacot." Aku menggeleng, walau mereka sudah hadir tetap saja masih belum ada yang membantuku mengurangi kekalutan di kepalaku ini.

"Udahlah Lis Lis, cowok mah banyak yang nganggur. Hilang satu tumbuh seribu, hilang manusia kayak dia masih banyak yang nunggu lo di depan sana. Cowok sekali selingkuh selamanya juga dia bakal ketagihan, apalagi udah sampai ngehamilin anak orang! Sialan banget kan, yang kayak gitu gak usah di ambil pusing, buang aja kelaut. Untung udah gue beri pelajaran tuh orang berapa minggu yang lalu."

"Tumben lo ada gunannya di dunia ini, gue kira cuma bisa menuhin isi bumi doang."

"Udahlah Nih capek gue adu bacot sama lo, mending kita gelud aja yuk."

Aksa sudah menarik sebagian baju di lengannya. Aku tertawa pelan, Jennie sudah melototi lelaki itu.

Lalu keduanya saling kejar mengejar, sama sekali tidak ingat sudah kepala berapa umur mereka. Tidak pula memipikirkan apa yang ada di pikiran orang orang saat melihat mereka. Tidak apa apa, dari dulu aku sudah terbiasa dengan sifat mereka yang seperti ini. Bahkan dulu lebih parah, walau sekarang pun tidak jauh berbeda.

Aku kembali memikirkan omongan Aksa yang ada benarnya juga itu. Hilang satu tumbuh seribu. Kepalaku semakin berdenyut saat mulai memikirkan langkah apa yang akan ku pilih kedepannya. Biarlah, biar seperti ini saja dulu. Aku tidak ingin memaksakan diriku untuk terlalu kuat menghadapi semuanya.

Tak lama telepon ku berdering, menampilkan nama Bunda di layarnya. Hingga saat suara wanita itu terdengar, aku sudah terlebih dulu mati rasa.

"Eyang masuk Rumah Sakit, jantungnya kambuh. Kamu bisa kesini?"

Kalau boleh aku minta pada mu Tuhan, aku mohon kau cabut nyawa ku dulu sebelum kau cabut nyawa orang paling berharga di hidupku.

☀️☀️☀️

Makasih udah mau ngeklik bintangnya, mau komen, apalagi mau baca sampai sejauh ini. Aku sayaaaaang kalian 🥰💕

Good night!

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang