33

1.2K 129 5
                                    

Aku dan Kris segera keluar dari tempat tadi, api semakin besar dan banyak warga yang sudah mengerumuni tempat kami. Ini menyeramkan, membuatku tidak lagi bisa berpikir untuk melakukan apa sekarang. Kris masih tenang, berbeda sekali denganku yang sudah ketar ketir sedari tadi. Saat takut, aku bahkan melupakan semuanya. Bayangkan saja, ini seperti sebuah permainan yang taruhannya adalah sebuah nyawa. Bagaimana mungkin aku tetap biasa biasa saja.

"Kamu tunggu disini, saya harus pergi sebentar."

Aku mencekal tangannya, "aku mohon, kembalilah dengan selamat." Dan lelaki itu tersenyum.

"Mbak ayo ikut saya," aku menoleh, di samping ku sudah ada Ayu dengan nafas nya yang terdengar tak teratur lagi itu. Dia menarik ku untuk mengikutinya.

Kami berlari tanpa henti dan jeda. Aku memaksa tubuhku agar penyakit itu tidak kambuh sekarang. Ini benar benar genting, bahkan untuk bernafas pun aku kesulitan. Penerangan pun semakin minim saat kami semakin jauh dari tempat tadi. Atmosfer hutan di malam hari menambah rasa tertantang dalam diriku. Suara hewan, atau bahkan suara ranting yang kami injak membuatku bertambah semangat.

"Mbak, aku minta maaf sebelumnya. Tapi, ini untuk kepentingan aku dan warga lainnya."

Belum sempat aku mengambil nafas, tiba tiba Ayu meninggalkan ku sendiri di ujung hutan belantara ini. Hanya ada penerangan minium beberapa langkah dari sini, aku bahkan merasa tidak memiliki tenaga apa apa lagi sekarang. Aku bahkan tidak bisa bernafas. Suara langkah kaki seseorang menambah ketakutan ku. Entah dimana jiwa keberanian ku tadi. Namun, aku meyakinkan diri sendiri. Aku kuat, aku pasti bisa melewati ini.

Dua orang berpakaian formal tiba tiba datang menyeretku dengan tenaga supernya. Aku berteriak kuat kuat, meminta tolong siapa tahu ada yang mendengarkannya. Namun nihil, hasilnya tetap sama. Kedua orang tadi menarik pergelangan tangan ku dengan sangat kuat, aku bahkan merasa tangan ku sudah hampir lepas dari tubuh. Mereka benar benar tak berhati,

"Ini bos, kami sudah mendapatkannya."

Dan kami berhenti pada sebuah gedung menyeramkan seperti tidak ada tanda tanda kehidupan disini. Hanya ada tiga lampu besar menggantung diatas dinding langit tempat ini, dan banyak sekali kursi kursi yang tak terpakai. Bahkan tempatnya pun sudah kotor, seperti jarang terurus. Di ujung sana, ada patung yang sama mengerikannya dengan tempat ini.

Dan aku berhenti mengamati tempat ini,

"Ternyata gadis itu bekerja dengan semestinya, beri dia upah sesuai apa yang dimintanya."

Aku melihat sosok yang membelakangi itu, tubuhnya yang tinggi tegap seperti hewan buas. Dari belakang pun aku bisa mengerti mengapa Kris menyebutnya berjiwa psikopat. Dia berbahaya.

Lalu lelaki itu menoleh kebelakang. Seketika aku merasa dunia memang sekecil itu.

"Ha...hanif?" Dan reaksinya pun sama sepertiku, "kamu hanif?" Dia bergeming di tempat.

"Bos ini orangnya,"

"Lepaskan dia." Dan tak lama orang orang menyebalkan itu melepaskan ku begitu saja.

Air mataku menetes begitu saja, dia Hanif. Aku tidak mungkin salah mengenalnya, dia memang Hanif yang ku kenal dulu. Walau dia sudah berubah sangat berbeda dangan dirinya yang dulu, namun aku masih mengenalinya. Dia menatapku tanpa ekspresi apa apa. Tapi aku tidak boleh gegabah! Dia itu Rio, bukan lagi Hanif yang ku kenal dengan tingkah polosnya, dengan suara tangisnya karena di bully oleh orang orang.

"Gak nyangka ya kita ketemu lagi," aku menatapnya garang, "tapi kenapa harus dalam situasi seperti ini?!" Awalnya nada lelaki itu terdengar lembut, namun sekarang berubah berat dan menakutkan.

"Mau apa kamu?!" Tanyaku dengan nada meninggi,

"Gue? Mau gue simple kok Sa..." dia mengelus wajahku yang di penuhi keringat itu, "gue mau, suami lo itu jatuh sejatuh jatuhnya!" Tak lama dia mencengkram wajahku. Matanya berubah sangat mengintimidasi, pipiku rasanya akan remuk karena perlakuannya itu.

"Dia salah apa sama kamu, huh?! Kenapa kamu jadi berubah gini?" Dia melepaskan tangannya dari pipiku,

"Lo gak perlu tahu. Tapi yang jelas, lo adalah senjata terampuh buat musnahin manusia satu itu."

"Hanif, bukannya kamu sendiri pernah bilang, manusia yang buat sengsara manusia lain itu gak pantas di sebut manusia?"

Lelaki itu tiba tiba menamparku, pipiku yang terasa remuk tadi terasa sangat sakit. Dia menatapku tajam,

"Gue bukan Hanif! Berhenti panggil gue Hanif, bitch! Gue gak pernah kenal sama lo, pahami itu!"

"Hanif aku tahu kamu orang baik, tapi apa yang merubah kamu jadi kayak gini? " aku masih berusaha lembut padanya. Aku tidak ingin melawan api dengan api.

"Lisa, jangan pernah panggil gue Hanif! Hanif udah mati, gue Rio!"

Aku tertawa keras, "terserah, bagi aku kamu itu Hanif!"

Dan tak ada jawaban, dia meninggalkan ku sendiri disini. Tak lama, orang orangnya tadi menyeretku kembali ke kursi yang tak jauh dari tempat duduk Hanif tadi. Lalu mengikat kaki ku dengan rantai, dan menutup mulutku dengan kain yang di ikat kuat kuat. Aku meringis sakit dalam hati, tapi aku tak boleh kelihatan lemah! Aku harus membuktikan padanya, bahwa aku sama sekali tidak takut!

Tak lama orang orang itu pergi, hanya ada aku sendiri disini. Benar benar sepi, yang ada hanya bunyi suara jangkrik yang saling bersautan dan hembusan angin yang menyebabkan tirai tirai yang menutupi jendela bergerak dan menimbulkan bunyi.

"Wah wah wah, ketemu lagi nih kita ceritanya."

Aku...aku bahkan tidak bisa berkedip rasanya. Kejutan datang silih berganti, di depan ku sudah ada wanita ular itu. Dia Citra, entah kenapa aku harus mengenalnya. Manusia penuh tipu muslihat itu lebih menyeramkan dari makhluk makhluk yang ada disini. Bahkan, dengan wajah cantiknya itu aku tetap merasa dia mengerikan.

"Gimana? Enak gak, atau lo ngerasa ini kurang? Mau gue tambah gak nih?" Aku menatapnya datar, "eh lupa, kan mulutnya di tutup." Tak lama dia tertawa kencang.

Aku hanya bisa diam, dan tidak bisa membalas apa apa. Citra, apa tidak ada laki laki lain di dunia ini selain Kris? Kenapa dia segila itu hanya untuk cinta? Ah tidak, aku hanya menyindir diriku sendiri.

"Cit, biar gue yang urus dia." Aku melirik sekilas, "lo di cariin tuh sama Pak Tila."

Citra semakin mendekat kearahku, lalu mengelus pipiku lembut. Seringaian lembutnya tadi berubah menjadi senyuman yang menyimpan banyak makna. Tak lama dia bergegas pergi dari ku. Aku menghembuskan nafas lelah. Mataku benar benar berat rasanya, namun semesta tak memberiku ruang walau hany sekedar terpejam.

"Lagian kenapa harus lo sih yang jadi istrinya bajingan sialan itu? Bikin ribet orang aja,"

Aku menggeleng. Ya namanya juga sudah takdir Tuhan. Aku saja tidak pernah menduga jika aku akan menjadi istri dari seorang Kriswu Hamilton yang ternyata membuat diriku sendiri menderita seperti ini. Eyang, kalau tahu hidup ku semakin tak karuan seperti ini, lebih baik aku ikut bersama mu saja di dunia atas sana. Dan air mataku merebes begitu saja. Apa lagi sih? Apa lagi yang direncakan semua orang! Kenapa harus ada orang jahat di dunia ini.

"Lah malah nangis, cengeng bener."

Dan Hanif, kenapa kau juga harus masuk dalam kelompok orang orang tidak berhati itu?

"Jadi ini? Ini istri pilihan Vika?"

Aku merasakan hawa dingin di seluruh tubuhku, rasanya aku ingin membeku saat mendengar suara berat pria itu. Langkah pria itu semakin mendekat, di sampingnya sudah ada Citra yang tersenyum penuh kepalsuan kepada ku. Pria itu semakin dekat, dan kenapa dia terasa tidak asing. Aku seolah,

Dia sangat mirip dengan Kris, demi Tuhan aku seperti menemui kembaran Kris yang beda umur.

"Dia ayahnya suami lo,"

Aku tidak bisa berkata apa apa lagi.

✨✨✨

Ada yang masih inget Citra gak?

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang