22

1.4K 143 4
                                    

Aku tidak ingin kamu jadi senja, memang indah namun hanya sekejap.

"Aduh," aku meringis ngilu saat lututku tersandung kursi besi yang terletak sembarang arah itu. Menyebalkan, lututku sangat sakit rasanya. Padahal keadaan sedang genting gentingnya, dan aku malah tertimpah kejadian seperti ini.

Mereka semua sudah mendahului ku, dengan tertati aku mencoba berdiri kembali. Karena kesal, ku tendang kursi besi yang menyebabkan lututku memar itu! Iya, lututku membiru karena menghantam ujung kursi itu.

Namun, saat kaki ku menyentuh tempat duduk di kursi itu, aku berteriak histeris. Sialan, sakitnya bertambah. Orang orang yang melewati ku, melihatku dengan pandangan aneh. Tetapi ada juga yang berniat menolongku.

Sungguh, ini memalukan. Aku ingin melepas wajahku saja rasanya.

"Neng, saya cariin kemana mana ternyata disini toh." Aku tersenyum kikuk, lutut dan kakiku paket komplite atas rasa sakitnya.

"Ah maaf ya Bi, aku buat repot bibi aja." Bi Maryam cepat cepat menggeleng. Aku mencoba berdiri dengan bertumpuh pada dinding rumah sakit ini. Namun naas, aku tidak bisa berdiri rasanya.

"Ya Allah neng, neng kenapa?" Ujar Bi Maryam sembari membantu ku berdiri.

"Tadi aku lari, cuma aku gak lihat kalau ada kursi itu, jadi nabrak deh." Bi Maryam menggeleng,

Lalu kami berdua mendatangi ruang Ririn yang katanya belum siuman itu.

✨✨✨

"Jadi, anak saya kenapa Dok? Gak ada masalah yang serius kan?"

Dokter lelaki paru baya itu tersenyum hangat, "dia gak apa apa, itu gejala biasa untuk wanita hamil sepertinya. Pola maka-

Aku menahan nafas, bahkan omongan dari dokter itu pun tak bisa ku dengar jelas. Ririn hamil? Siapa yang menghamilinya? Bukankah gadis itu belum menikah? Ya Tuhan apa lagi ini? Ku perhatikan wajah terkejut Bi Maryam, bibir wanita itu memucat dan tak lama Bi Maryam tak sadarkan diri. Dengan cepat dokter lelaki itu membantu mengangkat tubub Bi Maryam keatas sofa yang tersedia di ruang ini.

Dokter itu memeriksa keadaan Bi Maryam, aku hanya mengamatinya dari jauh. Tak lama, Dokter itu berbalik kearahku.

"Dia tidak apa apa, sebentar lagi pasti akan bangun. Kalau butuh apa apa bilang saja dengan suster yang jagain kalian disini ya," aku mengangguk.

Ya Tuhan, keduanya tak sadarkan diri. Ibu dan anak itu tak sadarkan diri. Ku hampiri Ririn yang belum juga sadarkan diri itu, tubuhnya sudah dipasang beberapa alat medis yang tidak ku ketahui namanya itu.

"Ririn, kenapa kamu bisa gini sayang. Gimana sekolah kamu nantinya?" Gumamku dan mengelus lembut kepalanya. Aku menatapnya pilu, Ya Tuhan gadis yang baru saja menginjak masa kehidupan ini sudah kau uji dengan begitu berat.

Tangan gadis itu perlahan bergerak, tak lama sedikit demi sedikit matanya terbuka. Aku membelak, beruntungnya tiba tiba seorang wanita dengan seragam putih tiba tiba datang. Dia berlari dan mengecek keadaan Ririn, lantas tersenyum.

"Alhamdulilah, keadaan mbaknya udah lumayan membaik." Aku menghembuskan nafas lega,

Suster itu sibuk dengan urusannya, dan aku tidak perduli. Sekarang perhatian ku sepenuhnya tertuju pada gadis di depan ku ini, ah tidak tidak dia sudah jadi wanita seutuhnya. Ririn terus melihat kesamping, enggan melihat wajahku.

"Rin, gak apa apa. Gak usah takut," dia masih belum menoleh kearahku. Ah baiklah, mungkin Ririn belum siap.

"Pergi. Biarin aku sendiri kak, jangan deketin orang hina kayak aku!Aku ini udah gak ada harganya lagi..." lirihnya. Terdengar deruan nafas tak karuan dari tubuh Ririn. Aku mengambil tangannya dan mengusap nya lembut. Lalu memeluk tubuhnya. Ririn awalnya memberontak, namun lama lama luluh.

"Kamu berharga, ingat itu." Ririn terisak kuat, tubuhnya bergetar dalam dekapan ku.

"Dasar anak sialan! Kamu pikir saya besarin kamu buat kayak gini Rin? Iya?" Ririn seperti tersentak, tubuhnya tambah bergetar ketakutan. Aku bisa merasakannya. Apalagi saat derap kaki Bi Maryam semakin mendekat.

"Sudah Neng, biar saya yang urus orang gak berguna kayak dia! Neng tunggu di luar aja," aku menggeleng, walau ku tahu yang kulakukan ini salah karena terlalu mencampuri urusan orang lain.

Ku lihat wajah Bi Maryam sudah merah padam, matanya pun sama. Dia sedang di gelogoti emosi yang amat besar. Bahaya jika kutinggal sendiri Ririn disini, bisa bisa gadis itu ah tidak, Bi Maryam tidak akan setega itu dengan anaknya sendiri.

"Gak apa apa kak, kakak tinggu di luar aj-

"Gak! Kalau kamu kenapa napa, kasian bayi yang ada di kandunganmu!" Sentakku,

Bi Maryam terduduk seketika, matanya yang merah tadi menumpahkan ribuan tetes air mata kesedihan. Isaknya membuat hatiku teriris iris. Ririn tiba tiba berjalan kearahnya, tak lupa membawa selang infus yang masih melekat di tangannya.

Ririn bersujud dibawah kaki Bi Maryam, memohon maaf atas segala yang menimpah mereka ini.

"Siapa ayahnya?!" Ririn terpelanting lumayan jauh karena tubuhnya terdorong oleh Tendangan dari Bi Maryam yang enggan di sentuh oleh Ririn itu.

Ririn semakin menangis, "siapa Rin? Siapa ayah bayi haram mu itu." Aku menutup mulut saat mendengar ucapan Bi Maryam.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Ririn saat ini.

"Aku takut, aku takut jika kalian tahu siapa ayah bayi ini semuanya akan hancur."

"Lho memang semua sudah hancur! Jadi kepalang hancurkan saja semuanya Rin! Hancurkan saja ibumu ini, hancurkan impian besar ibumu untuk dirimu yang gak berguna sama sekali itu!" Dengan suara bergetar, Bi Maryam mengucapkannya.

"Bi sabar, tenangkan pikiran bibi. Keadaan Ririn belum begitu membaik, kasihan bayi di perutnya jika Ririn terlalu tertekan."

Bi Maryam mengusap wajahnya, tangan keriput itu mengelap air matanya sendiri. Aku hanya bisa diam menyaksikan peristiwa yang menimpah keduanya. Namun aku bisa apa? Tidak ada yang bisa ku lakukan. Lagian Kris dimana sih? Lelaki itu mengapa harus menghilang disaat yang tidak pernah tepat.

"Lebih baik Ririn bunuh saja bayi sialan ini bu, Ririn gak mau buat kita jadi lebih sengsara karena kehadirannya."

Aku merasakan hantaman kuat di dadaku saat Ririn berbicara seperti itu.

"Kamu apa apaan sih! Diluar sana masih banyak wanita yang ingin punya anak, Rin. Jangan pernah berpikir kalau kehadirannya gak berguna, dia anugerah terindah yang dikirim Tuhan buat kamu. Dan untuk urusan keperluannya, gak apa apa, biar aku yang bantu sampai dia besar kelak."

"Kak, ini gak semudah yang kakak pikirin," lirih gadis itu.

"Makanya ibu tanya, siapa ayah bayimu itu Rin? Biar hidup sengsara kita ini tidak bertambah lebih parah lagi." Kini Bi Maryam tampak lebih tenang.

"Aku takut," balasnya.

Tiba tiba aku teringat akan kejadian kertas yang datang malam hari waktu itu. Dan kejadian pelukan Kris dan Ririn pagi harinya juga. Segala kemungkinan kemungkinan datang di pikiranku.

Tuhan, jangan.

Semoga bukan, semoga ini hanya pikiran buruk ku saja.

Say Something!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang